BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Hadits adalah
pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat
Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Oleh karena itu,
pemakalah akan mencoba membahas ilmu tentang macam-macam hadits, definisi,
syarat, contoh, dan permasalahan-permasalahan yang mencakup hadits-hadits.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
Pemahaman
tentang panilaian terhadap status hadist menjadi sebuah hal yang sangat penting
saat ini untuk menyehatkan kembali pembahasan-pembahasan tentang masalah
keagamaan, sehinga peluang manipulasi agama bisa terdeteksi sejak awal.
Berpijak dari konsep ini, penulis akan menyajikan ulasan penelitian tentang
hadis nabi yang diriwayatkan oleh beberapa perowi di atas.
1.3
TUJUAN
·
Sebagai
pembelajaran mahasiswa dalam belajar Al-islam khususnya tentang hadits Untuk
pemenuhan
salah satu tugas Studi Hadist
·
Untuk menambah
wawasan para pembaca tentang definisi hadits
·
Penelitian ini
bertujuan untuk memaparkan penilaian dari status sebuah hadis yang diriwayatkan
dari sahabat
muadz ibn jabal, sehingga diharapkan para pembaca bisa mengetahui
kualitas dan kuantitas hadis ini secara lebih detail.
BAB II
ISI/PEMBAHASAN
2. Pengertian
Hadits
Hadits adalah
segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
Al-Qur'an.
Ada
bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
·
Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
Hadits
Mutawatir
Hadits Ahad
Hadits Shahih
Hadits Hasan
Hadits Dha'if
·
Menurut Macam Periwayatannya
Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu'
atau Maushul)
Hadits yang
terputus sanadnya
Hadits Mu'allaq
Hadits
Mursal
Hadits
Mudallas
Hadits
Munqathi
Hadits
Mu'dhol
·
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
Hadits Maudhu'
Hadits Matruk
Hadits Mungkar
Hadits
Mu'allal
Hadits
Mudhthorib
Hadits Maqlub
Hadits
Munqalib
Hadits Mudraj
Hadits Syadz
2.1 Macam-macam Hadits
1. HADITS SHAHIH
Pengertian
Secara bahasa
(etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah
antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila
diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi
bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka
maknanya hanya bersifat kiasan majas. Secara istilah (terminologi), maknanya
adalah : hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke
akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan)
dan juga tanpa ‘illat (penyakit).
kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat
antonim dari kata as-saqim ( (السقيم=
orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat
dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل
سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن
مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
hadis yang
muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat
daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan
cacat (‘ilat).
Imam Bukhori
dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut :
1) Rangkaian
perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi
terakhir.
2) Para
perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti
adil dan dhobith,
3)
Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para
perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
1.A.
Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi
hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya
Bersambung
Maksudnya
adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara
langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk
mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis
menempuh tata kerja sebagai berikut;
- Mencatat semua periwayat yang
diteliti,
- Mempelajari hidup masing-masing
periwayat,
- Meneliti kata-kata yang
berhubungan antara para periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata
yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani,
‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya
Bersifat Adil
Maksudnya adalah
tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan
fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai
keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
- keterangan seseorang atau
beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil,
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
- ketenaran seseorang bahwa ia
bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan
Hambali.
khusus
mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh
sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang
menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq,
dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya
Bersifat Dhobith
Maksudnya
masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan
dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam
dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis
sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab
ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun
sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
- kesaksian para ulama
- berdasarkan kesesuaian
riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya
ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau
menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
Menurut
al-Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz,
bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah,
sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya,
suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang
dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya
ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup
tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara
dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau
pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap
hadis yang munqati’ atau mursal.
1.B. Pembagian
Hadis Shahih
Para ahli
hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan
shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan
atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya
sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang
sempurna.a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya
ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia
itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan
khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih
Li Ghoirihi
Maksudnya
ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut
baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat
bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih
li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan
melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat
dari padanya.
1.C. Kehujahan
Hadis Shahih
Hadis yang
telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau
dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama
ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan
dengan aqidah.
Sebagian besar
ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis
mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
1.D. Tingkatan
Hadis Shahih
Dari segi
persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang
secara berurutan sebagai berikut:
a)
Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e)
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)
Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan
tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan
lain-lain.
Kitab-kitab
hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
1. Shahih
Al-Bukhari (w.250 H).
2. Shahih
Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu
Khuzaimah (w. 311 H).
4. Shahih Ibnu
Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok
Al-hakim (w. 405).
6. Shahih
Ibn As-Sakan.
7. Shahih
Al-Abani.
2.
HADIST HASAN
Pengertian
Secara bahasa,
hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu
sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan
pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari
definisinya yaitu:
1.
definisi al-
Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur
rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang
diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha’
2.
definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya
tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan
diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah
hadis hasan.
3.
definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh
yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat,
dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi,
lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li
dszatihi.
4. Ungkapan
yang senada dengan Ibnu Hajar juga diutarakan oleh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin.2.
Menurut Mahmud
Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu
Hajar, yaitu
yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat
kedlobithannya
kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat.
Kriteria hadis
hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi
ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an
perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi
hadis hasan lebih unggul.
2.A. Syarat
Hadits Hasan
Adapun syarat
hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya
berbeda.
a. Sanadnya
bersambung,
b. Perawinya
adil, lebih rendah dari hadits shahih,
c. Dlobith,
d. Tidak ada
illat,
e. Tidak ada
syadz,
Hadits hasan
terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hasan
lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain).
Apabila hanya
disebut “Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan
batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat
kehasanannya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan
sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya,
meskipun nilanya sedikit di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para
perawinya.
Hadits hasan
lighairihi adalah hadits dloif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad
yang ada menguatkan sanad yang dloif tersebut. Ada juga yang mendefinisikan
hadits hasan lighairihi sebagai hadits yang dalam isnadnya tersebut orang yang
tidak diketahui keadaaanya, tidak biasa dipastikan kelayakan atau
ketidaklayakannya. Namun ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan
tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangakan matannya didukung oleh mutabi’ atau
syahid.
2.B. Hukum
hadits Hasan
Bisa dijadikan
sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih, meskipun dari segi
kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan
mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’ ushul,
kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar
mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda
dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.
2.C. Contoh
Hadits Hasan
Dikeluarkan oleh
Tirmidzi, yang berkata:
“Telah
bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman
ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari,
yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW.
bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan
pedang…”al-Hadits.
Hadits ini
hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin
Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.
3.HADITS DHA’IF
Pengertian
Menurut
pendekatan etimologi kata “dha’if” berarti yang lemah, sebagai lawan dari kata
“qawy” yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, maka kata dha’if juga berarti
saqim (yang sakit). Oleh karena itu sebutan hadits dha’if menurut bahasa berarti
hadits yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.
Muhammad ‘Ajaj
Al-Khathib menegaskan hadits dha’if sering didefinisikan oleh ahli hadits
sebagai hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits yang dapat diterima.
Mayoritas ulama menyatakan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
Ibnu Katsir
mendefinisikan hadits dha’if adalah : مَالَمْ
يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ، وَلاَ صِفَاتُ الْحَسَنِ.
Hadits yang
didalamnya tidak terkumpul sifat hadits shahih dan hadits hasan.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits dha’if adalah : كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ.
Setiap hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat makbul (sifat-sifat yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih dan hasan). Karena yang shahih maupun yang hasan keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits dha’if adalah : كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ.
Setiap hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat makbul (sifat-sifat yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih dan hasan). Karena yang shahih maupun yang hasan keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul.
Dalam istilah
ilmu hadits Fatchur Rahman menta’rifkan hadits dha’if adalah : مَا فَقِدَ شَرْطًا أَوْاَكْثَرَمِنْ شُرُوْطِ الْحَسَنِ.
“Ialah hadits
yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau
hadits hasan”.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya suatu hadits itu dianggap
dha’if selama belum dapat dibuktikan keshahihan atau kehasanannya. Sebab yang
diharuskan di sini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah hadits shahih
dna hadits hasan, bukan hadits dha’if.
3.A. Kriteria
dan pembagian Hadits Dha’if
Dari segi
diterimanya atau tidak suatu hadits untuk dijadikan hujjah, maka hadits itu
pada prinsipnya terbagi dua, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang
termasuk hadits maqbul adalah hadits shahih dan hadits hasan, sedang yang
termasuk hadits mardud adalah hadits dha’if.
Para muhadditsin menegaskan bahwa tertolaknya suatu hadits dapat dilihat dari dua aspek, pertama dari segi sanad dan kedua dari segi matannya.
Para muhadditsin menegaskan bahwa tertolaknya suatu hadits dapat dilihat dari dua aspek, pertama dari segi sanad dan kedua dari segi matannya.
1).Dha’if
karena sanadnya
Kalau hadits
itu disebabkan sanadnya, maka :
Pertama :
Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun
hafalannya.
Kedua : Ketidak bersambung-sambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Kedua : Ketidak bersambung-sambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Hadits dha’if
itu memang bermacam-macam, dan mempunyai perbedaan derajat antara satu dengan
yang lainnya, karena banyak atau sedikitnya syarat-syarat atau hadits shahih
atau hasan yang dapat dipenuhinya. Sehingga Al-Iraqy membagi hadits dha’if
menjadi 42 macam dan sebagian ulama yang lain, membaginya menjadi 129 macam.
Kalau hadits
dha’if itu cacat pada keadilan dan kedla’bithan rawinya, maka terbagi beberapa
macam :
1. Hadits
dha’if karena rawinya pendusta disebut hadits maudlu’ ;
2. Hadits
dha’if karena rawinya tertuduh pendusta disebut hadits matruk ;
3. Hadits
dha’if karena rawinya fasiq disebut hadits munkar ;
4. Hadits
dha’if karena rawinya banyak purbasangka disebut hadits mu’allal ;
5. Hadits
dha’if karena rawinya menyalahi riwayat orang kepercayaan disebut hadits mudraj
;
6. Hadits
dha’if karena rawinya bodoh disebut hadits mubham ;
7. Hadits
dha’if karena rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud ;
8. Hadits
dha’if karena rawinya tidak kuat hafalannya disebut hadits syadz dan mukhtalith
;
Kemudian
apabila hadit dha’if itu karena sanadnya tidak bersambung, maka terbagi kepada
:
1. Kalau yang
digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu’allaq ;
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) maka disebut hadits mursal ;
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih, dan berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak berturut-turut maka disebut hadits munqathi.
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) maka disebut hadits mursal ;
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih, dan berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak berturut-turut maka disebut hadits munqathi.
2) Dha’if dari
sandaran matannya
Hadits dha’if
yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan, ialah:
a. Hadits
mauquf
Kata mauquf
berasal dari kata waqafa, yaqifu, secara lughat artinya yang dihentikan atau
yang diwaqafkan. Maka hadits mauquf dalam pengertian ini berarti hadits yang
dihentikan. Sedangkan secara istilah pengertian hadits mauquf ialah :
“Hadits yang
diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya”.
Pengertian lain menyebutkan :
Pengertian lain menyebutkan :
“Hadits lain
yang disandarkan kepada sahabat”. Dengan kata lain bahwa hadits mauquf adalah
perkataan, perbuatan, atau taqrir sahabat. Dikatakan mauquf, karena sandarannya
kepada sahabat, artinya terhenti pada sahabat, bukan pada Rasulullah SAW.
Contoh hadits mauquf adalah:
“Konon Ibnu Umar r.a
berkata:”Bila kau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya pagi hari,
dan bila berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari.Ambillah dari
waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk persediaan
matimu.”(HR Bukhari)
Hadits ini dikatakan hadits
mauquf sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri,tidak aada
petunjuk kalau itu sabda dari Rasulullah saw.Yang ia ceritakan bahwa Rasulullah
saw memegang bahunya sambil bersabda:
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang
lewat di jalan”.
Pada prinsipnya hadits mauquf tidak dapat dijadikan sebagai hujjah,kecuali
ada qarinah yang menunjukkan(menjadikan) marfu’.
b. Hadits Maqthu’
Kata maqthu’ diambil dari kata qatha’, yaqtha’u, menurut bahasa berarti
yang dipotong, maka hadits maqthu’ berarti hadits yang dipotong, yaitu dipotong
sandarannya hanya pada tabi’in. Secara
terminologis hadits maqthu’ diartikan sebagai berikut :
“Hadits yang
diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya”. Hadits
seperti ini disebut hadits maqthu’, karena tidak ditemukan adanya qarinah atau
kaitan yang menunjukkan bahwa hadits ini disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Contoh hadits maqtu’adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’iy
besar,uajrnya:
“Orang mu’in itu bila
telah mengenal Tuhannya ‘Azza wa Jalla, niscaya ia mencintainya, dan bila ia
mencintainya, Allah menerimanya.”
Suatu hadits dikatakan maqtu’
,dalam pemabahasan matan yakni matannya tidak dinisbahkan kepada Rasulullah saw
atau shahabat.Hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah.
3) Dha’if dari
sudut matannya.
Hadits-hadits yang tergolong dha’if dari sudut matannya saja ialah hadits
syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau
terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan kandungan
hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat kepercayaannya.
4)Dha’if dari salah satu sudutnya (sanad atau matan) secara
bergantian
Yang
dimaksudkan dengan bergantian disini ialah kedha’fan tersebut kadang-kadang
terjadi pada sanad, dan kadang-kadang pada matannya. Di antara hadits-hadits
yang termasuk kategori ini ialah hadits maqlub, hadits mudraj, dan hadits
mushahaf.
3.B. Kehujjahan Hadits Dha’if
Segenap ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa tidak boleh sekali-kali
kita menggunakan atau mengamalkan hadits dha’if untuk menetapkan suatu hukum,
segenap bentuk hukum, hukum halal, hukum haram, hukum berjual beli, hukum
pernikahan, hukum thalak dan lain-lain. Namun mereka
berbeda pendapat tentang mengamalkan hadits dha’if untuk keutamaan amal
(fadhilatul amal), untuk targhib (menggemarkan) dan untuk tarhib (memberikan
khabar ancaman).
1. Imam
Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu Araby menyatakan, hadits dha’if
sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah
yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.
2. Imam Ahmad
bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-Asqalany menyatakan, bahwa
hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan
amal (fadla’il amal), dengan syarat:
a. Para perawi
yang meriwayatkan hadits itu tidak terlalu lemah;
b. Masalah
yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh
Al-Qur’an dan hadits shahih;
c. Tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Berdasarkan
uraian di atas, bahwa sebagian ulama membolehkan mengamalkan hadits dha’if
untuk fadhilatul ‘amal. Hal ini sejalan dengan ungkapan tiga orang ulama hadits
yang terkenal, yaitu Imam Ahmad bin Hambal, Abdurrahman bin Mahdi dan Abdullah
bin Al-Mubarak. Diriwayatkan dari mereka : “Apabila kami meriwayatkan tentang
halal dan haram, kami memperketat, dan kalau kami meriwayatkan tentang
keutamaan-keutamaan dan semisalnya, kami mempermudah”.
Kehati-hatian
terhadap hadits dha’if juga dilakukan oleh Ibnu Hajar, beliau memberikan tiga
macam persyaratan diterimanya periwayatan yang lemah dalam hadits raqaiq dan
targhib, yaitu :
Pertama,
syarat yang disepakati oleh para ahli, kelemahan tersebut tidak berlebihan.
Oleh karena itu harus ditolak periwayatan tunggal dari orang-orang yang memang
di kenal sebagai pembohong, atau yang dicurigai sebagai pembohong ataupun yang
dikenal hafalannya sangat lemah.
Kedua, makna
dari hadits tersebut masih dapat digolongkan dalam suatu tema dasar umum yang
diakui. Maka harus ditolak setiap hadits yang hanya dibuat begitu saja, dan
tidak ada argumentasinya sama sekali.
Ketiga, pada
saat penerapannya, haruslah tidak diyakini bahwa hadits tersebut berasal dari
Rasulullah SAW, agar tidak terjadi penisbahan suatu ucapan kepada beliau,
padahal nabi tidak pernah mengucapkannya.
Selain syarat
di atas, Yusuf Qardhawi menambahkan dua syarat lagi, yaitu : Pertama, hadits
itu tidak mengandung hal-hal yang amat dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan,
sehingga ditolak oleh akal, syariat, atau bahasa. Kedua, hadits tersebut tidak
bertentangan dengan suatu dalil syar’I lainnya yang lebih kuat daripadanya.
Senada dengan
uraian di atas, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany menegaskan bahwa ulama-ulama
yang menggunakan hadits dha’if itu harus memperhatikan tiga syarat sebagai
berikut :
Pertama :
kelemahan hadits itu tidak seberapa, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang tertuduh dusta tidak dipakai;
Kedua :
petunjuk hadits itu ditunjuki oleh sesuatu dasar yang dipegangi, dalam arti
memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
Ketiga, jangan
di i’tikadkan tatkala memeganginya bahwa hadits itu benar dari Nabi, tetapi
hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan
kepada nash yang tidak ditemui”.
Sekalipun para
ulama membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if, tetapi persyaratan yang
sangat kuat itu menunjukkan bahwa pada dasarnya para ulama menolak hadits
dha’if dijadikan hujjah. Hal ini dapat dimengerti karena agama Islam berkaitan
dengan keyakinan, sedangkan keyakinan tidak bisa didasarkan pada dalil yang
lemah dan meragukan.
4.HADITS
MASYHUR
Pengertian
Menurut
bahasa, merupakan isim maf’ul dari syahartu al-amra, yang berarti saya
mengumumkan atau menampakkan suatu perkara. Disebut seperti itu karena
penampakkannya yang jelas.
Menurut
istilah, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih ─disetiap
tingkatannya─, asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir.
Contoh: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu
saja, melainkan Dia mencabutnya…” (Dikeluarkan haditsnya oleh Syaikhan,
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
4.A. Masyhur
yang Tidak Tergolong Istilah Hadits Masyhur
Yang
dimaksudkannya adalah sesuatu (hadits) yang telah popular (masyhur) di kalangan
tertentu, namun tidak memiliki syarat-syarat yang dituntut (sebagai hadits
masyhur). Hal itu berupa:
- Haditsnya memiliki hanya satu
sanad.
- Haditsnya memiliki lebih dari
satu sanad.
- Haditsnya tidak memiliki sanad.
4.B. Hukum Hadits Masyhur
Masyhur menurut istilah maupun yang tidak termasuk istilah tidak dapat
diklaim sebagai hadits yang shahih atau tidak shahih melainkan ada yang shahih,
ada juga yang hasan, dhoif bahkan yang maudhu. Hadits
masyhur─menurut istilah hadits─ yang shahih memiliki kriteria lebih kuat dari
hadits ‘aziz dan hadits gharib.
4.C.
Kitab-Kitab yang Populer
Yang dimaksud
kitab-kitab hadits masyhur disini adalah hadits-hadits masyhur yang beredar
ditengah-tengah masyarakat, bukan masyhur menurut istilah hadits, di antaranya:
Al-Maqashid Al-Hasanah fima Isytahara ‘ala
Al-Alsinati. Karya As-Sakhawi.
Kasyfu
Al-Khafa wa Muzail Al-Ilbas fima Isytahara min Al-Hadits ‘ala Al-Sinati An-Nas.
Karya
Al-Ajiluni.
Tamyizu At-Thayib min Al-Khabits fima Yaduru ‘ala Al-Sinati
An-Nas min Al-Hadits. Karya Ibnu Ad-Daiba’ As-Syaibani.
5.
HADITS MURSAL
Pengertian
Al-Mursal
menurut bahasa berarti melepaskan. Adapun menurut
istilah ahli hadits dan fuqoha berbeda dalam mendefinisikan hadits mursal.
Hadits mursal
menurut ahli hadits adalah:
Artinya:
Hadits yang dimarfu'kan oleh seorang tabi'in kepada Rasulullah Saw, baik
perkataan, perbuatan, maupun taqrir, baik tabi'in itu kecil maupun tabi'in
besar.
Definisi ini
banyak digunakan mayoritas ahli hadits, hanya saja mereka tidak memberikan
batasan tabi'in besar atau kecil.
Dari definisi
di atas dapat diketahui bahwa hadits mursal adalah segala hadits yang
bersambung sanadnya kepada tabi’in dan tidak menyebutkan nama shahabi yang
meriwayatkan hadits langsung menyebut nama nabi Muhamad Saw.
Adapun hadits
mursal menurut ahli ushul adalah perkataan seseorang yang tidak berjumpa dengan
nabi Muhammad Saw baik dari tabi’i atau tabi’u tabi’in atau orang
sesudah mereka. Jadi Hadits mursal adalah perkatan tabi’in baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil atau perkataan sahabat kecil, yang menegaskan
tentang apa yang telah dikatakan atau diperintahkan oleh Rasulullah
Saw tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu diperolehnya.
Ahli ushul
berpendapat, hadits mursal adalah hadits yang gugur perawinya atau
terputus sanadnya ditingkat manapun, baik diakhir, ditengah, ataupun di awal
sanad. Baik berurutan maupun tidak. Dengan demikian yang termasuk
kategori hadits mursal adalah hadits mu’allaq, mu’dhol, munqhathi’, karena hadits-hadits tersebut tidak bersambung sanadnya
5.A.
Klasifikasi Hadits Mursal
Dalam hadits
mursal, yang digugurkan adalah sahabat yang menerima berita langsung dari nabi,
sedangkan yang mengugurkan dapat juga seorang tabi’i atau sahabat kecil. Oleh
karna itu ditinjau dari siapa yang mengugurkan dan sifat pengugurannya,
hadits mursal terbagi kepada tiga macam yaitu :
1.
Mursal Jaly, Yaitu bila penguguran yang telah dilakukan oleh
rawi tabi’i adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang
yang mengugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang
digugurkan yang mempunyai berita atau
penguguran itu dilakkukan oleh tabi’i besar
2.
Mursal Shahaby, yaitu pemberitaan sahabat yang
disandarakan kepada Nabi Muhamad Saw, tetapi ia tidak mendengarkan atau
menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia
masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama islam.
hadits mursal
ini dianggap shahih, karena ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat.
Sedang para sahabat itu seluruhnya adil. Contohnya ialah hadits yang
diriwayatkan oleh Malik
أخبرنامالك بن شهاب عن عبيدالله بن عبدالله بن عطبة عن
عبدالله بن عباس رضي الله عنه قال : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج
إلى مكة يوم عام الفتح في رماضان فصام حتى بغ الكديد ثم افطر فافطر الناس
Yang artinya
dikabarkan dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidillah bin abdillah bin ‘tabah
dari Abdullah bin ‘abbas r.a ibnu abbas berkata “ Bahwa Rasulullah Saw keluar
menuju ke mekkah, pada tahun kemenangan dalam bulan ramadhan, karena itu beliau
berpuasa sampai ke kadid lalu setelah itu beliau berbuka, kemudian orang-orang
pun berbuka’.
Menurut al-qabisy,
hadits tersebut termasuk hadits mursal shahaby, lantaran Ibnu Abbas tidak ikut
berpergian bersama Rasulullah Saw beliau di Mekkah ketika itu bersama
dengan orang tuanya, jadi Beliau tidak menyaksikan kisah perjalanan tersebut.
Hal itu diketahui berdasarkan berita dari sahabat lain.
3.
Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
tabi’i, dimana tabi’i yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahaby,
tetapi ia tidak perah mendengar sebuah hadits pun daripadanya. Hukum hadits
mursal ini adalah dhaif.
5.B. Pandangan Ulama tentang kehujahan Hadits Mursal
Seluruh ulama
sependapat , bahwa hadits mursal yang di-irsal-kan oleh sahabat dapat diterima
sebagai hujjah dalam beramal, dengan alasan bahwa apa yang diriwayatkan oleh
sahabat secara irsal diduga keras berdasarkan pendengarannya langsung dari nabi
Muhamad Saw, atau berdasarkan pendengarannya langsung dari sahabat lain yang tidak diketahuinya, identitas seorang sahabat
itu adalah orang-orang yang berpredikat adil
Kebanyakan
ulama hadits menilai bahwa hadits mursal ini lemah (dhaif) dan karenanya tak
bisa dijadikan hujjah, karena tidak diketahui rawi yang gugur dalam urutan
sanad atau tidak diketahui keadaan orang yang tidak disebut namanya itu. Tetapi pendapat ini kurang mashur di kalangan fuqoha,
pendapat mashur mereka adalah menerima hadits mursal sebagai hujah
Adapun Hadits
mursal apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak, para ulama berbeda pendapat
dalam hal ini, Muhammad Ajaj Al-khatib menyebutkan bahwa perbedaan
pendapat tersebut sampai 10 pendapat, tetapi yang tergolong mashur hanya 3
yakni menolak, menerima dengan beberapa syarat, dan menerima hadits mursal.
1. Pendapat
pertama, yakni pendapat jumhur dan kebanyakan fuqoha dan ahli ushul menyatakan
bahwa hadiits mursal itu dhaif dan tidak dapat dipakai hujjah, argumentasi
mereka adalah bahwa rawi yang tidak disebutkan itu tidak dapat diketahui
identitas dan karakternya dan boleh jadi ia bukan seorang sahabat. Bila
demikian maka para perawinya meriwayatkan hadits dari orang-orang tsiqat, oleh
karena itu bila salah seorang perawinya meriwayatkan hadits dengan
meng-irsal-kannya, maka barangkali ia menerima hadits tersebut dari orang yang
tidak tsiqat. Apabila rawi yang meng-irsal-kan itu tidak meriwayatkan hadits
kecuali dari orang yang tsiqat, maka menilai ketsiqatan orang yang tidak jelas
identitasnya dianggap tidak cukup.
2. Pendapat
kedua, yakni pendapat Iman Al-Muthalibi Al-syafi’i menjelaskan bahwa
hadits mursal kibaaar al-tabi’in dapat diterima dengan
beberapa syarat, baik pada matan hadits maupun pada rawi yang meng-irsal-kannya
.
hadits mursal
itu harus didukung oleh salah satu dari empat faktor berikut :
a.
Diriwayatkan secar musnad dari jalan lain.
b. Diriwayatkan
secara mursal oleh rawi yang tidak menerima hadits tersebut dari
guru-guru pada sanad pertama, karena hal ini menunjukan berbilangnnnya
jalur hadits.
c. Sesuai
dengan pandapat sebagian sahabat
d.
Sesuai dengan pendapat kebanyak ahli ilmu.
adapun alasan
Imam Abu Hanifaaah menerima hadis mursal sebagai hujjah, kalau yang
mengirsalaknnya itu tabi’i dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1.
menurut logika bahwa rawi yang bersifat adil lagi perwira tentu tidak mau
mengugurkan rawi-rawi (guru) yang berada antara dia dan nabi, sekiranya rawi
yng digugurkan itu bukan orag yang adil pula, dengan kata lain sebagai orang
yang adil tentu enggan membuat penipuan dengan menyembunyikan atau menggugurkan
orang yang tidak adil
2.
rawi yang tsiqat tidak akan mau meriwayatkan hadits dari orang yang tidak
tsiqat, atau yang lebih mungkin adalah para tabi'in umumnya menerima hadits
dari para sahabat dan mereka adalah orang-orang yang adil
3. umat
islam pada periode itu umumnya jujur dan adil dan sebagaimana yang ditegaskan
rasulullah Saw yang memuji generasi tabi'in melalui
sabdanya
خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (متفق عليه)
yang artinya :
Sebagus-bagusnya kamu sekalian adalah generasiku, kemudian generasi seudahnya
(sahabat), dan kemudian generasi yang mengikutinya (tabi'i) ( Bukhori Muslim)
4. Ijma
Tabi'in, bahwa para tabi'i sepakat yang menerima hadits-hadits yang
diriwayatkan secara irsal tanpa adanya pengingkaran, hal ini dapat dilihat
dari dari apa yang diriwayatkan Al-A'mas ketika beliau berdialog dengan
ibrahim al-nakho'i " apabila anda memberitakan hadits kepada saya, maka
saya akan menyambungkan hadits itu, kemudian ia berkata: " apabila
saya berkata kepada anda, telah memberitakan hadits kepadaku, dan apabila saya,
si pulan, dan Abdullah bin masud maka dialah yang memberikan hadits
kepada saya, dan apabila saya berkata kepada anda "Abdullah bin
Mas'ud telah memberitakan hadits itu kepada saya, maka seolah sekelompok orang
yang telah memberitakan hadits kepada saya
6. HADITS
QUDSI
Pengertian
Hadits Qudsi
secara etimologi berarti Hadits yang di nisbatkan kepada Dzat yang Maha Suci
yaitu Allah Subhanahu wa Ta`ala. Secara istilah, Hadits Qudsi dipahami sebagai
Hadits yang yang di sabdakan Rasulullah, berdasarkan firman Allah SWT. Dengan
kata lain, matan Hadits tersebut adalah mengandung firman Allah SWT.
1. Al Qur`anul
Karim mempunyai lafadz dan makna dari Allah SWT dan diturunkan secara berkala.
2. Sedangkan Hadits Nabi memiliki lafadz yang bersumber dari Nabi SAW tetapi maknanya dari Allah SWT, dan diturunkan tidak secara berkala serta dinitsbatkan kepada Rasulullah SAW.
3. Serta Hadits Qudsi, lafadz Hadits berasal dari Nabi Muhammad tetapi maknanya dari Allah SWT, tidak berkala, dinitsbatkan kepada Allah SWT.
2. Sedangkan Hadits Nabi memiliki lafadz yang bersumber dari Nabi SAW tetapi maknanya dari Allah SWT, dan diturunkan tidak secara berkala serta dinitsbatkan kepada Rasulullah SAW.
3. Serta Hadits Qudsi, lafadz Hadits berasal dari Nabi Muhammad tetapi maknanya dari Allah SWT, tidak berkala, dinitsbatkan kepada Allah SWT.
Perbedaan
dalam bentuk penyampaianya adalah:
1. Al Qur`an
selalu memakai kata "قال الله تعالى"
2. Hadits
Nabawi memakai kalimat" قال رسول الله \ قال النبي"
3. Hadits
Qudsi dengan "قال رسول الله فيما يرويه عن ربه"
Hadits Qudsi
juga bisa disebut sebagai Hadits Ilahi, atau Hadits Rabbani. Jumlah total
Hadits Qudsi menurut kitab Al Ittihafatus Sunniyah berjumlah 833 buah, termasuk
yang shahih, hasan dan dhaif.
Contoh Hadits
Qudsi yang sahih: عن رسول الله ص. قال الله عز وجل:
انفق انفق عليك. (صحيح رواه البخرى
مسلم).
Artinya: Dari
Rasulullah SAW: telah berfirman Allah Azza wa Jalla. “berderma lah kalian,
niscaya aku akan membalas derma atasmu” (Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Hadits Qudsi ialah Hadits yang lafadz matan-nya dari Nabi Muhammad SAW dan maknanya dari Allah SWT. Hadits Qudsi tidsak sama dengan Al Qur`an karena Al Qur`an lafadz dan matan-nya dari Allah SWT.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Hadits Qudsi ialah Hadits yang lafadz matan-nya dari Nabi Muhammad SAW dan maknanya dari Allah SWT. Hadits Qudsi tidsak sama dengan Al Qur`an karena Al Qur`an lafadz dan matan-nya dari Allah SWT.
7. HADITS MU’AN-AN
Pengertian
Pengertian dari muanan adalah hadits yang sanadnya terdapat redaksi ‘an
(dari) seseorang.
Pendapat ulama
ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
1) Bahwa
hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam
kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa
dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam
hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
a) Syarat-syarat
yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits
lain antara lain:
·
Perawi harus
mempunyai sifat ‘adalah.
·
Harus terdapat
hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
·
Perawi bukan
termasuk mudallis.
b)
Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
·
Perawi harus
mempunyai sifat ‘adalah.
·
Perawi bukan
termasuk mudallis.
·
Hubungan
antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu
dimungkinkan untuk bertemu.
2) Bahwa hadits
mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’an-an
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi
‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk
sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka
redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu
nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .
Pengertiaanya adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam mengomentari hadits seperti ini dapat di
kalsifikasikan menjadi dua:
1) Bahwa
hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila mempunyai
syarat-syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat Imam
Malik dan jumhurul hadits.
2)
Hadits muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat
kejelasan bahwa murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al-
Bardaji. Contoh dari hadits ini adalah hadits yangdiriwayatkan oleh Imam malik
dari Ibnu Shihab
Kesimpulan
dari uraian diatas dapat kita klasifikasikan menjadi tiga pendapat sesuai
dengan komentar Ibnu Hajar:
·
Bahwa redaksi
sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana.
·
Tidak
dikatakan sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana. Ketika
hadits itu diriwayatkan oleh mudallis.
·
Redaksi ‘an
sama dengan akhbarana dalam penerimaan hadits secara ijazah.Untuk itulah
hadits yang redaksinya memakai ‘an masih dalam kategori muttasil. Akan tetapi
derajat ‘an masih dibawah sami’tu.
Contoh hadis
mu’an’an:
حدثنا قتيبة بن
سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم:
الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر
{رواه مسلم}.
8. HADITS MUTAWATIR
Pengertian
Kata mutawatir
Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut
antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
8.A.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1). Hadits
(khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar
merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang
lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan
pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak
dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai
jumlah yang banyak.
2). Bilangan
para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
Abu Thayib
menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus
Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan
uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65).
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan firman Allah: “Wahai nabi cukuplah Allah dan
orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
8.B. Pembagian
Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian
lain hadits mutawatir lafzi adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Silsilah/urutan
rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits
mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya : “Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya,
tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya: “Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya : “Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau
dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat
tangannya, sehingga nampak putih- putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari
Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya : “Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis
Mutawatir Amali
Hadis
Mutawatir Amali adalah :
Artinya : “Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh :
Kita melihat
dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat)
rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh
Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya
atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
9.HADITS
GHARIB
Pengertian
1.
Menurut bahasa, merupakan sifat musyabbahah yang bermakna al-mufarid (sendiri),
atau jauh dari karib kerabat.
2.
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian.
Hadits yang
diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap thabaqat-nya dari
seluruh thabaqat sanadnya, atau di sebagian thabaqat sanad; malahan bisa pada
satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainnya
tidak merusak hadits gharib karena yang dijadikan sebagai patokan adalah yang
paling minimal.
9.A.
Jenis-Jenisnya
Dilihat dari
aspek tempat menyendirinya perawi, hadits gharib dibagi dua:
a.
Hadits gharib mutlak atau fard mutlak
Definisinya,
jika gharib (kesendiriannya) terdapat pada asal sanad, dengan kata lain hadits
yang diriwayatkan oleh rawi secara sendirian pada asal sanadnya. Contohnya
hadits, “Sesunggunhya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Umar bin Khathab seorang diri. Hal ini terus berlanjut
(kesendiriannya) hingga akhir sanad. Hadits ini juga telah diriwayatkan
kesendiriannya oleh sejumlah rawi.
b. Hadits
gharib nisbi atau fard nisbi
Definisinya,
ke-gharib-annya terletak ditengah-tengah sanad, dengan kata lain, hadits yang
diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi pada asal sanadnya, kemudian
diriwayatkan oleh seorang rawi. Contohnya hadits Malik dari Az-Zuhri dari Anas
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota Makkah sementara di atas
kepalanya terdapat penutup.
Kesendiriannya
terletak pada Malik dari Az-Zuhri.
1)
Jenis-Jenis Hadits Gharib Nisbi
Terdapat
berbagai jenis gharib atau kesendirian (tafarrud) yang memungkinkannya termasuk
hadits gharib nisbi, bukan gharib mutlak karena dinisbahkan kepada sesuatu
tertentu, antara lain:
1.
Ke-gharib-annya dinisbahkan kepada rawi yang tsiqah (terpercaya) seperti
pernyataan mereka, “Tidak diriwayatkan oleh seorang pun rawi tsiqah kecuali si
fulan.”
2.
Ke-gharib-annya karena diriwayatkan oleh rawi tertentu dari rawi tertentu.
Seperti pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara menyendiri oleh fulan dari
fulan,” meskipun diriwayatkan dari arah lain selain dia.
3.
Ke-gharib-annya pada penduduk negeri tertentu atau penghuni tertentu. Seperti
pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk Makkah,” atau
“oleh penduduk Syam.”
4.
Ke-gharib-annya karena diriwayatkan oleh penduduk negeri tertentu dari penduduk
begeri tertentu pula. Seperti pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara
menyendiri oleh penduduk Bashrah dari penduduk Madinah,” atau “Diriwayatkan
secara menyendiri oleh penduduk Syam dari penduduk Hijaz.”
Pembagian Lain
Para ulama
juga membagi hadits gharib dilihat dari sisi gharibnya sanad dan matan, yaitu:
1.
Hadits gharib matan dan sanad. Hadits yang matannya diriwayatkan oleh seorang
rawi saja.
2.
Hadits gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang matannya diriwayatkan
oleh sekelompok sahabat, namun diriwayatkan secara menyendiri dari sahabat
lainnya. Dalam perkara ini, Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib dilihat
dari aspek ini.”
9.B.
Kitab-Kitab yang Memuat banyak Hadits Gharib
Yaitu
kitab-kitab yang di dalamnya terdapat banyak hadits gharib
1. Musnad
Al-Bazzar
2.Mu’jam
Al-Ausath At-Thabrani
9.C.
Kitab-Kitab Hadits Gharib yang Populer
1.Gharaib
Malik, karya Ad-Daruquthni
2.Al-Afraad,
karya Ad-Daruqthni
3.As-Sunan
allati Tafarrada bikulli Sunnatin minha Ahlu Baldatun, karya Abu Daud As-Sijistani
10. HADITS AZIZ
Pengertian
‘Aziz artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
‘Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : Suatu hadits yang
diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya.
Contohnya :
Nabi shallallaahu bersabda : “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu
hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta
seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Keterangan :
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan
diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma.
Susunan sanad
dari dua jalan tersebut adalah : Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah
dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan
Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan
Abdul-Warits.
11.HADITS
MUTTASHIL
Pengertian
Hadis
muttasihl disebut juga Hadis Mausul.(sanad nya tidak terputus)
Artinya:
“Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.”
Kata-kata
“hadis yang didengar olehnya” mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan
melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan
Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata “yang
didengar” karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling
banyak ditempuh.
Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu ‘an ‘an,
bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata ‘an dalam menyampaikan hadis yang
diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang
bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis
Muttasil Marfu’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi’ dari
Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Orang yang
tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga
dan hartanya”
Contoh hadis
mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia
mendengar Abdullah bin Umar berkata:
Artinya
“Barang
siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain
kecuali keharusan membayarnya.”
Masing-masing
hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis
Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung.
Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi
jumhur mudaddisin berkata, “Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau
muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang
membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya.
Oleh karena
itu, mestinya dikatakan “Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin
Al-Musayyab dan sebagainya “. Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu
sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan
kepada kedua hadis mausul di atas.
Seakan-akan
pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in
dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu’ adalah lawan Hadis mausul.
Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi’in.
12.HADITS
MUA’LAQ
Pengertian
Hadits
Mu’allaq adalah hadits yang sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hadits :
“ Hadits yang dari pangkal sanadnya dihilangkan satu rawi atau lebih secara berurutan ”
12.A. Gambaran Hadits Mu’allaq
“ Hadits yang dari pangkal sanadnya dihilangkan satu rawi atau lebih secara berurutan ”
12.A. Gambaran Hadits Mu’allaq
Yang termasuk
gambaran dan bentuk dari hadits muallaq diantaranya :
1.Dihilangkannya
semua sanad kemudian.
2.Di antaranya
juga dihilangkannya seluruh sanadnya kecuali satu orang shahabat, atau tersisa
seorang shahabat dan satu orang tabi’in saja.
Contoh : Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah
pada pembukaan bab : “Hadits-Hadits Yang Disebutkan Tentang Paha ” :
وقال أبو موسى
غطى النبي صلى الله عليه و سلم ركبتيه حين دخل عثمان
“Abu Musa radiyallahu 'anhu berkata : “Nabi Sallallahu
'Alahi Wasallam menutup dua lutut beliau ketika Utsman masuk”
Hadits ini
adalah hadits Mu’allaq, karena Imam Bukhari menghilangkan seluruh sanadnya
kecuali satu orang shahabat yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
12.B. Hukum
Hadits Mu’allaq
Hadits
Mu’allaq adalah tertolak karena tidak adanya salah satu syarat hadits maqbul
(yang diterima) yaitu tersambungnya sanad. Itu karena dalam Mu’allaq ada satu
rawi atau lebih yang dihilangkan, padahal kita tidak tahu keadaan rawi yang
dihilangkan.
12.C. Hukum
Hadit-Hadits Mu’allaq Dalam Kitab Shahihain
Hukum yang
tadi dimana hadits Mu’allaq adalah tertolak, itu adalah untuk hadits Mu’allaq
secara umum. Namun apabila hadits Mu’allaq terdapat dalam kitab yang
menyebutkan hadits shahih saja seperti Shahih Bukhari dan Muslim, maka dia
punya hukum tersendiri, yaitu sebagai berikut :
·
Bila disebutkan dengan bentuk jazm (pasti) seperti “telah berkata” , “telah
menyebutkan” , “telah menghikayatkan” dan yang semisalnya, maka dihukumi
keshahihannya dari siapa yang disandarkan.
·
Bila disebutkan dengan bentuk tamridh (tidak pasti) seperti “telah dikatakan”,
“telah disebutkan”, “telah dihikayatkan” dan yang semisalnya, maka tidak
dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.
13.HADITS
MUDRAJ ( sisipan)
Pengertian
Definisi Mudraj
menurut bahasa yaitu (merupakan isim mafùl dari kata adrajtu) yang
berarti aku memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah
yaitu Hadits yang dirubah menurut sanadnya atau matannya dimasuki sesuatu yang
bukan menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah.
Macam-macam hadits mudraj :
Mudraj pada Sanad
Banyak sekali kemungkinan terjadi, misalnya:
sekelompok jamaah meriwayatkan sautu hadits dengan
beberapa sanad yang berbeda, kemudain diriwayatkan oleh seorang perawi dengan
menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tesebut tanpa menerangkan
ragam dan perbedaan sanad.
Seseorang meriwayatkan sebuah matan yang ditak
sempurna, kesempurnaannya ia temukan pada sanad yang lain. Kemudian ia
meriwayatkannya dengan menggunkan sanad yang pertama.
Seseorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua
sanad yang beberda pula, kemudian ia meriwayatkannya dengan salah satu sanadnya
saja
Seorang perawi menyampaikan periwaytan, pada saat
menyampaikan terhalang oleh suatu gangguan, kemudian berbicara dari dirinya
sendiri. Diantara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah
matan hadits, kemudian dia meriwayatkannya.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh
at-Turmudzi dari jalan Ibnu Mahdi dari ast-Tsauri dari Wasil al Ahdab dari
Mansur al a’masy dari Abu Wa’il dari Amer bin Syurahbil dari Ibnu mas’ud r.a,
katanya aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang dosa yang paling besar,
kataku: “mana dosa yang paling besar?”. Nabi menjawab:”engkau menjadikan sekutu
bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan engkau”, aku bertanya: “kemudian
apa?”. Nabi menjawab “engkau membunuh anak engkau karena khawatir akan makan
dia bersama engkau”. Aku bertanya pula: “kemudian apa?”. Nabi menjawab: :engkau
menzinai istri tetangga engkau”.
Dalam sanad ini terdapat sanad yang disisipkan
yaitu Amer bin Syurahbil, sebenarnya Abi Wail menerima langsung dari Ibnu
Mas’ud r.a dengan tidak memakai perantara Amer ibn Syurahbil.
2. Mudraj pada Matan
Pada umumnya mudraj pada matan merupakan penjelasan
ataupun keterangan Rawi terhadap lafadz-lafadz yang gharib (asing) dari matan
hadis Nabi. Mudarj pada Matan adalah, sebagian perawi telah memasukkan
perkataannya dalam hadis Rasulullah saw. Baik itu pada awal hadis, pertengahan
ataupun terakhir. Sehingga menimbulkan dugaan para pendengar bahwa itu adalah
bagian dari hadis Nabi.
a. mudraj pada awal hadis
a. mudraj pada awal hadis
Contohnya hadis tentang wudhu`:
ما رواه الخطيب من رواية أبي قطن وشبابة عن شعبة عن محمد بن زياد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “أسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من النار”
“Diriwayatkan oleh Khatib Al Baghdadi, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhumu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu)".
Kata-kata أسبغوا الوضوء "Sempunakanlah wudhumu" pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut oleh penerima riwayat dikira bagian dari matan hadis Nabi.
Periwayat hadis tersebut ialah Khatib Al Baghdadi yang menerimanya dari dua sanad, yakni dari sanad Abu Qathan dan sanad Syababah menurutnya kedua periwayat itu ragu-ragu apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabada Nabi ataukah kata-kata dari Abu Hurairah. Dalam hal ini al-Khatib telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.
Dan ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah dengan lafadz:
عن أدم عن شعبة عن سعيد بن زياد عن أبي هريرة قال: أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال: “ويل للأعقاب من النار”
“Dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah berkata: sempurnakanlah wudhu`mu karena sesungguhnya Abu al-Qasim SWA telah bersabda: Neraka Wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak memebasuh dengan sempurna ketika berwudhu". (HR Bukhari)
b. mudraj pada pertengahan hadis
Contoh : Hadis Aisyah tentang permulaan turunnya wahyu:
حدثنا يحي بن بكير قال: حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت كان أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم. فكان لا يري رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصباح ثم حبب إليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه (وهو التعبد) الليالي أولات العدد قيل أن ينزع إليه…”
Dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata. Wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar dalam tidur, beliau tidak melihat mimpi kecuali beliau menyaksikan sesuatu seperti pagi hari. Kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya utnuk berkhalwat di Gua Hira, beliau berkhwalwat disana untuk bertahannus yakni beribadah… didalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…”
وهو التعبد "yakni beribadah" kata-kata ini adalah Idraj kata-kata Aisyah, merupakan penafsiran dari kata yatahannast yang oleh penerima riwayat yakni Al-Zuhry disertakan dalam matan hadis.
c. Mudraj pada akhir hadis
Contohnya: Hadis Abu Hurairah tentang hamba yang baik dalam beribadah;
عن أبي هريرة قال صلى الله عليه وسلم : للعبد المملوك أجران، والذي نفسي بيده لو لا الجهاد فى سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Hamba sahaya mendapat dua pahala demi Dzat dan jiwaku ada ditangannya, seandainya bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kepada Ibuku, niscaya aku ingin mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.
Awal kata dari hadis diatas adalah sabada Nabi, kemudian selebihnya sampai akhir hadis itu adalah Idraj. Karena mustahil nabi mengharapkan dirinya menjadi hamba sahaya sementara prediket hamba itu tidak relevan dengan perediket kenabian.
Maka menurut Nuruddin It`r kata-kata والذي نفسي بيده sampai akhir hadis itu adalah Idraj dari perkataan Abu Hurairah.
c) Hukum Hadis Mudraj
Mudraj termasuk salah satu hadis dhaif, karena memasukkan dengan sesuatu yang bukan hadis, seandainya kata-kata yang di Idraj itu shahih atau hasan karena boleh jadi datang melalui sanad yang shahih, hal itu juga tidak mengubah ke-dhaifannya karena sebagai sesuatu yang bercampur dalam sebuah hadis yang padanya terjadi Idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.
Adapun Idraj yang terjadi disebabkan kesalahan dan kelupaan periwayat yang tidak tercela, kecuali ia banyak melakukannya, maka yang demikian merupakan kecacatan kedhabitannya.
Sedangkan Idraj yang terjadi karena disengaja, maka Ijma` ulama ahli hadis dan fiqh menyatakan sebagai perbuatan haram. Adapun jika Idraj yang dimaksudkan karena sebagai penafsiran atau penjelasan dari kata-kata yang asing maka hal itu dibolehkan.
Tidak bisa dinilai sebagai idraj sampai ada bukti, sehingga hukum asalnya adalah dianggap bagian dari matan hadits. Hadits mudraj diketahui melalui beberapa jalan :
a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut dari para Imam.
c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.
ما رواه الخطيب من رواية أبي قطن وشبابة عن شعبة عن محمد بن زياد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “أسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من النار”
“Diriwayatkan oleh Khatib Al Baghdadi, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhumu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu)".
Kata-kata أسبغوا الوضوء "Sempunakanlah wudhumu" pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut oleh penerima riwayat dikira bagian dari matan hadis Nabi.
Periwayat hadis tersebut ialah Khatib Al Baghdadi yang menerimanya dari dua sanad, yakni dari sanad Abu Qathan dan sanad Syababah menurutnya kedua periwayat itu ragu-ragu apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabada Nabi ataukah kata-kata dari Abu Hurairah. Dalam hal ini al-Khatib telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.
Dan ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah dengan lafadz:
عن أدم عن شعبة عن سعيد بن زياد عن أبي هريرة قال: أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال: “ويل للأعقاب من النار”
“Dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah berkata: sempurnakanlah wudhu`mu karena sesungguhnya Abu al-Qasim SWA telah bersabda: Neraka Wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak memebasuh dengan sempurna ketika berwudhu". (HR Bukhari)
b. mudraj pada pertengahan hadis
Contoh : Hadis Aisyah tentang permulaan turunnya wahyu:
حدثنا يحي بن بكير قال: حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت كان أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم. فكان لا يري رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصباح ثم حبب إليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه (وهو التعبد) الليالي أولات العدد قيل أن ينزع إليه…”
Dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata. Wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar dalam tidur, beliau tidak melihat mimpi kecuali beliau menyaksikan sesuatu seperti pagi hari. Kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya utnuk berkhalwat di Gua Hira, beliau berkhwalwat disana untuk bertahannus yakni beribadah… didalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…”
وهو التعبد "yakni beribadah" kata-kata ini adalah Idraj kata-kata Aisyah, merupakan penafsiran dari kata yatahannast yang oleh penerima riwayat yakni Al-Zuhry disertakan dalam matan hadis.
c. Mudraj pada akhir hadis
Contohnya: Hadis Abu Hurairah tentang hamba yang baik dalam beribadah;
عن أبي هريرة قال صلى الله عليه وسلم : للعبد المملوك أجران، والذي نفسي بيده لو لا الجهاد فى سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك
Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Hamba sahaya mendapat dua pahala demi Dzat dan jiwaku ada ditangannya, seandainya bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kepada Ibuku, niscaya aku ingin mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.
Awal kata dari hadis diatas adalah sabada Nabi, kemudian selebihnya sampai akhir hadis itu adalah Idraj. Karena mustahil nabi mengharapkan dirinya menjadi hamba sahaya sementara prediket hamba itu tidak relevan dengan perediket kenabian.
Maka menurut Nuruddin It`r kata-kata والذي نفسي بيده sampai akhir hadis itu adalah Idraj dari perkataan Abu Hurairah.
c) Hukum Hadis Mudraj
Mudraj termasuk salah satu hadis dhaif, karena memasukkan dengan sesuatu yang bukan hadis, seandainya kata-kata yang di Idraj itu shahih atau hasan karena boleh jadi datang melalui sanad yang shahih, hal itu juga tidak mengubah ke-dhaifannya karena sebagai sesuatu yang bercampur dalam sebuah hadis yang padanya terjadi Idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.
Adapun Idraj yang terjadi disebabkan kesalahan dan kelupaan periwayat yang tidak tercela, kecuali ia banyak melakukannya, maka yang demikian merupakan kecacatan kedhabitannya.
Sedangkan Idraj yang terjadi karena disengaja, maka Ijma` ulama ahli hadis dan fiqh menyatakan sebagai perbuatan haram. Adapun jika Idraj yang dimaksudkan karena sebagai penafsiran atau penjelasan dari kata-kata yang asing maka hal itu dibolehkan.
Tidak bisa dinilai sebagai idraj sampai ada bukti, sehingga hukum asalnya adalah dianggap bagian dari matan hadits. Hadits mudraj diketahui melalui beberapa jalan :
a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut dari para Imam.
c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.
MAZID (tambahan)
Kata Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis Ziyadah pada matan ialah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh rawi tertentu, sedangkan rawi yang lain tidak mengemukakannya.
Macam-macam Ziyadah
Menurut Ibn Shalah Ziyadah ada tiga macam, yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang Tsiqah yang isinya bertentangan/menyelisihi dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut ditolak.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut diterima (saling melengkapi).
Contoh :
Dari Al A'raj, dari AbuHurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda "Apabila anjing minum di bejalan salah seorang dari kamu maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abi Razin dan Abi Shalih dari Abu Hurairah,ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaknya ia buang isinya, kemudian hendaklah ia mencucinnya tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abdullah Bin Mughaffal ia berkata, "....dan Nabi bersabda, "Apabila anjingmenjilat bejana, maka hendaklah kamu cuci dia tujuh kali dan hendaklah kamu lumurkan bejana itu yang kedelapan dengan pasir" (HR Muslim)
Ketiga hadis diatas semua rawinya adalah tsiqoh dan sama kuat, karena tambahan dari masing-masing riwayat tidak bertentangan maka semuanya diterima (saling melengkapi), maka makna gabungan dari ketiga hadis tersebut menjadi : Apabila seekor anjing menjilat atau minum dari suatu bejana, hendaklah dibuang isinya, lalu dicuci dengan air tujuh kali dan yang ke delapan dengan dicampur tanah".
3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para periwayat lain yang tsiqah tidak mengemukakannya, Ibn Shalah tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan Ziyadah yang ketiga ini.
Kata Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis Ziyadah pada matan ialah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh rawi tertentu, sedangkan rawi yang lain tidak mengemukakannya.
Macam-macam Ziyadah
Menurut Ibn Shalah Ziyadah ada tiga macam, yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang Tsiqah yang isinya bertentangan/menyelisihi dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut ditolak.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut diterima (saling melengkapi).
Contoh :
Dari Al A'raj, dari AbuHurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda "Apabila anjing minum di bejalan salah seorang dari kamu maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abi Razin dan Abi Shalih dari Abu Hurairah,ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaknya ia buang isinya, kemudian hendaklah ia mencucinnya tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abdullah Bin Mughaffal ia berkata, "....dan Nabi bersabda, "Apabila anjingmenjilat bejana, maka hendaklah kamu cuci dia tujuh kali dan hendaklah kamu lumurkan bejana itu yang kedelapan dengan pasir" (HR Muslim)
Ketiga hadis diatas semua rawinya adalah tsiqoh dan sama kuat, karena tambahan dari masing-masing riwayat tidak bertentangan maka semuanya diterima (saling melengkapi), maka makna gabungan dari ketiga hadis tersebut menjadi : Apabila seekor anjing menjilat atau minum dari suatu bejana, hendaklah dibuang isinya, lalu dicuci dengan air tujuh kali dan yang ke delapan dengan dicampur tanah".
3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para periwayat lain yang tsiqah tidak mengemukakannya, Ibn Shalah tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan Ziyadah yang ketiga ini.
Jika tambahan itu datang dari rowi yang tidak
tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian
itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain
lebih layak untuk ditolak.
Jika datang dari rowi yang tsiqoh : Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal :Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”
Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.
Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).
Jika datang dari rowi yang tsiqoh : Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal :Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”
Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.
Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).
14.HADITS
MUSALSAL
Pengertian
Hadits
Musalsal adalah hadits yang dibawakan dengan menyertakan sifat (yang
selalu sama) seperti perkataan perawi “Ketahuilah, Demi Allah telah
memberitahuku seorang pemuda” كَـذَاكَ
قَـدْ حَدَّثَنِيهِ قَائِمــا * أَوْ بَعْـدَ أَنْ حَدَّثَنِـي تَبَسَّـما
Begitu juga
seperti perkataan “Si Fulan Telah bercerita kepadaku sambil berdiri”
atau “setelah bercerita kepadaku, ia tersenyum”
Musalsal:
Hadits yang para perawi sanadnya bersamaan dari awal hingga akhirnya dalam
mengucapkan, atau dalam mencontohkan keadaan atau dalam melakukan perbuatan.
Dalam mengucapkan, seperti masing-masing mereka bersumpah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam mengucapkan, seperti masing-masing mereka bersumpah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam
mencontohkan keadaan, seperti mernyampaikan hadits sambil berdiri.
Dalam melakukan perbuatan, seperti tersenyum setelah menyampaikan hadits.
14.A. Hukum hadits musalsal
Dalam melakukan perbuatan, seperti tersenyum setelah menyampaikan hadits.
14.A. Hukum hadits musalsal
adalah
diterima apabila memenuhi syarat-syarat untuk diterima. Ibnu Shalah dalam
‘Ulumul Hadits hal. 249 berkata, “Sedikit sekali hadits musalsal itu yang
selamat dari kelemahan, maksud saya, dalam menyifati keadaannya, bukan pada
matannya.”Aku (Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy) berkata:”Ini adalah
peringatan ringan”.
14.B. Contoh
hadits musalsal
Dari Mu’adz
bin Jabal radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا
مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz,
demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku berpesan kepadamu wahai Mu’adz,
janganlah kamu tinggalkan mengucapkan di akhir setiap shalat, “Allahuumma
a’inniy ‘alaa dzikrik wa syukrik wa husni ‘ibaadatik.” (Ya Allah, bantulah
aku untuk mengingat-Mu, untuk bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki ibadah
kepada-Mu).
Aku berkata: Syaikh Abul Faidh Al Fadaniy berkata kepadaku : Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku beberapa orang syaikh, yaitu Umar bin Hamdan, Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-masingnya berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu.” Begitupula setiap perawi berkata:”Telah berkata kepadaku si fulan, dan ia berkata kepadaku:”Sesungguhnya aku mencintaimu”… sampai kepada akhirnya.
Aku berkata: Syaikh Abul Faidh Al Fadaniy berkata kepadaku : Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku beberapa orang syaikh, yaitu Umar bin Hamdan, Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-masingnya berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu.” Begitupula setiap perawi berkata:”Telah berkata kepadaku si fulan, dan ia berkata kepadaku:”Sesungguhnya aku mencintaimu”… sampai kepada akhirnya.
15.HADITS
MA’RUF
Pengertian
Ma’ruf adalah
isim maf’ul dari kata ‘Arofa yang berarti yang sudah dikenal atau diketahui.
Adapun menurut ilmu hadits, hadits Ma’ruf adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh (terpercaya) yang menyelisihi apa yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if (lemah)”
Adapun menurut ilmu hadits, hadits Ma’ruf adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh (terpercaya) yang menyelisihi apa yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if (lemah)”
Dengan
definisi ini, kita mengetahui bahwa hadits Ma’ruf adalah lawan dari hadits
Munkar. Karena Munkar adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if
(lemah) yang menyelisihi dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh
(terpercaya)”
Dengan ini,
kita juga mengetahui bahwa hadits Ma’ruf bukanlah termasuk kategori hadits
dhaif, tapi dia termasuk hadits maqbul dan shahih. Dia disebutkan setelah
pembahasan hadits Munkar karena dia adalah lawan darinya, supaya bisa dibedakan
dan jelas putih di atas hitam.
15.A. Contoh
Hadits Ma’ruf
Contoh hadits
Ma’ruf adalah contoh dari hadits Munkar. Hanya saja kalau Munkar dari jalan
rawi yang dhaif sedangkan Ma’ruf dari jalan rawi yang tsiqah. Seperti hadits :
مَن أَقامَ الصَّلاةَ وآتى الزَّكاةَ وحَجَّ البيتَ وصامَ وقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الجنَّةَ
“Barangsiapa
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, berpuasa dan
memuliakan tamu, maka niscaya dia masuk surga”
Hadits ini
dilihat dari jalan Hubayyib bin Habib az-Zayyat dari Abu Ishaq adalah Munkar,
karena Hubayyib meriwayatkannya secara marfu’. Adapun selain dia (Hubayyib)
dari para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara
mauquf (disandarkan kepada Shahabat). Riwayat para rawi yang tsiqat inilah yang
disebut dengan Ma’ruf.
Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah setelah memaparkan hadits Hubayyib secara marfu’ tersebut, beliau berkata : “Hadits itu Munkar, karena selain dia (Hubayyib) dari para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara mauquf (disandarkan kepada Shahabat).
Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah setelah memaparkan hadits Hubayyib secara marfu’ tersebut, beliau berkata : “Hadits itu Munkar, karena selain dia (Hubayyib) dari para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara mauquf (disandarkan kepada Shahabat).
16.HADITS
MAQLUB
Pengertian
Hadits Maqlub
adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama seseorang atau nasabnya
pada sanad. Dengan demikian perawi mendahulukan yang seharusnya diakhirkan,
mengakhirkan yang sebenarnya didahulukan, dan meletakkan sesuatu ditempat
sesuatu yang lain.
Pembalikan tersebut hanyalah karena lupa, tidak ada unsur kesengajaan, meskipun begitu, hal tersebut mengakibatkan kedla’ifan hadits. Seandainya hal itu dilakukan dengan sengaja bukan karena lupa, maka pada saat itu pembalikan merupakan salah satu bentuk pemalsuan.
Diantara ahli hadis banyak yang sengaja menguji para perawi dengan membalikkan hadits-hadits. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memalsukan hadits, tetapi untuk mengetahui sejauh mana hafalan mereka.
Pembalikan tersebut hanyalah karena lupa, tidak ada unsur kesengajaan, meskipun begitu, hal tersebut mengakibatkan kedla’ifan hadits. Seandainya hal itu dilakukan dengan sengaja bukan karena lupa, maka pada saat itu pembalikan merupakan salah satu bentuk pemalsuan.
Diantara ahli hadis banyak yang sengaja menguji para perawi dengan membalikkan hadits-hadits. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memalsukan hadits, tetapi untuk mengetahui sejauh mana hafalan mereka.
Letak
kedla’ifan dalam hadits Maqlub ini terletak pada sedikitnya kekuatan ingatan,
karena mendahulukan apa yang semestinya diakhirkan dan mendahulukan apa yang
seharusnya diakhirkan serta mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain, lebih
dari itu hadits maqlub merusak pemahaman pendengar dan membawanya pada
kekeliruan.
Contoh tukar-menukar yang terjadi pada matan, ialah hadits Muslim
dari Abu Hurairah r.a:
ورجل تصدق بصدقة أخفاها حتى لاتعلم يمينه ما
تنفق شماله
"
…dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang
disembunyikan, hingga tangan kanannya tidak mengetahui apa-apa yang telah
dibelanjakan oleh tangan kirinya.”
Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan hadits riwayat Bukhari
atau riwayat Muslim sendiri,pada tempat lain, yang berbunyi:
حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
( hingga tangan kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan
tangan kanannya).
Tukar menukar
pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Ka’ab bin Murrah tertukar dengan
Murrah bin Ka’ab, dan Muslim bin Wahid, tertukar dengan Wahid bin Muslim.
Hukum memutarbalikkan rawi ini boleh,
jika dengan maksud untuk menguji kehafadhan seorang muhaddits.
17. HADITS MAUDHU
Pengertian
Menurut
bahasa, kata maudhu’ merupakan isim maf’ul dari kata wada’a (وضع) , artinya menurunkan atau meletakkan atau meyimpan. Dan secara
istilah : ulama hadist, yaitu hadist yang dibuat oleh seseorang pendusta dan
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik secara sengaja maupun tidak. Hadist
semacam ini dinamakan dikenal juga dengan sebutan hadits palsu.
Di samping itu
juga, Hadits maudhu’ atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan
paling rendah. Di dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits,
dilihat dari dua hal, yaitu dari matan atau lafadz (isi) haditsnya dan sanad
atau jalur orang yang meriwayatkannya. Hadits maudhu’ dikategorikan hadits
mardud (tertolak), karena hadits tersebut cacat dari segi jalur periwayatannya.
Sebab salah seorang perawinya (periwayat) diketahui berdusta, ia mengklaim
ucapan seseorang sebagai hadits lalu menyebar luaskannya.
17.A. CONTOH
HADITS MAUDHU
1. Hadits
maudhu’ yang bertentangan dengan sunnah mutawatir ialah Hadits yang memuji
orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad, yaitu:
“Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad, Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimasukkan di neraka”.
“Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad, Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimasukkan di neraka”.
Hadits
tersebut adalah bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang
menerangkan bahwa neraka itiu tidak dapat ditembus dengan nama-nama tersebut,
akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keilmuan dan keislaman
2. Hadits
maudhu’ yang dinukil dari perkataan orang-orang Mutaqaaddimin, yaitu: “Cinta
keduniaan ialah modal kesalahan”.
3. Hadits
maudhu’ yang dibuat untuk mempertahankan idiologi partainya atau golongan
sendiri dan menyerang partai lawannya, yaitu golongannya syi’ah membuat hadits
maudhu’ yang memuji diri sendiri, mereka membuat hadits yang isinya untuk
menjelek-jelekkan lawannya, seperti Mu’awiyah: “ Apabila kamu melihat Mu’awiyah
berada di atas mimbarku bunuhlah”.
Pengikut golongan lain yang merasa golongannya dihina, segera membalas membuat hadits maudhu’ untuk mengadakan revance atau setidak-tidaknya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat padanya. Misalnya hadits maudhu yang membenarkan ke-khilaf-an Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a.
Pengikut golongan lain yang merasa golongannya dihina, segera membalas membuat hadits maudhu’ untuk mengadakan revance atau setidak-tidaknya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat padanya. Misalnya hadits maudhu yang membenarkan ke-khilaf-an Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a.
4. Hadits
maudhu’ yang dibuat untuk merusak dan mengeruhkan Agama Islam, sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang Zindiq. “Tuhan kami turun dari langit pada sore
hari, di Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan
dengan orang-orang yang bekendaraan dan memeluk orang-oreng yang pada
berjalan”.
5. Hadits
maudhu yang bertentangan dengan Al Quran: “ Anak zina itu, tidak dapat masuk
surga, sampai tujuh keturunan”.
17.B. HUKUM
HADITS MAUDHU’
Hadits maudhu’
atau palsu merupakan hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil dan
juga hadist ini merupakan hadist yang paling jelek di antara sekian banyak yang
hadist yang dhaif. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu
adalah haram, jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’.
Berdasarkan hadits, “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena
sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR.
Muslim).
18.HADITS
MUHKAM
Pengertian
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm
berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah
orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan
membedakan antara yang hak dan batil.
18.A. Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan
mutsyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan
Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang
tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang
tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun
naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti
datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih
al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab
Hanafi.
2). Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara
nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah
yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal,
huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih} al-suwar)
pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan
mereka.
3). Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu
kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung
banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan
kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan
keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi
memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau
keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.
Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang
membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih
ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk
ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan
kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal
(kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya muhkam atas ism-ism
(kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah
(samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash
dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya
tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah
ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang
maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil
yang kuat.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu
Hadits
merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an. Didalam hadits itu
sendiri terdapat klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi
yaitu adalah hadits mutawatir dan hadits ahad. Dari segi kualitas hadits ada
hadits shahih, hadits hasan , hadits dha’if, dan hadits maudhu. Dari segi
kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud. Dari segi
perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan hadits munqathi.
Menurut bahasa
dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang
tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak
terkumpul sifat-sifat hadits hasan. Pembagian hadits dha’if ada dua bagian
yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan. Status
kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan secara
mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali tidak
dapat di amalkan.
Dan juga
biografi para ulama-ulama perawi hadits yang semuanya memiliki keilmuan yang
tidak di ragukan lagi. Juga tentang pembukuan hadits yakni pada masa
kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz karena di takutkan hadits-hadits itu akan
lenyap bersama para penghapal hadits bila tidak segera dibukukan.
No comments:
Post a Comment