Tuesday, December 31, 2013

Makalah Tentang Hadits

 BAB I
PENDAHULUAN

1.1             LATAR BELAKANG
Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba membahas ilmu tentang macam-macam hadits, definisi, syarat, contoh, dan permasalahan-permasalahan yang mencakup hadits-hadits.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pemahaman tentang panilaian terhadap status hadist menjadi sebuah hal yang sangat penting saat ini untuk menyehatkan kembali pembahasan-pembahasan tentang masalah keagamaan, sehinga peluang manipulasi agama bisa terdeteksi sejak awal. Berpijak dari konsep ini, penulis akan menyajikan ulasan penelitian tentang hadis nabi yang diriwayatkan oleh beberapa perowi di atas.

1.3  TUJUAN

·         Sebagai pembelajaran mahasiswa dalam belajar Al-islam khususnya tentang hadits Untuk  pemenuhan salah satu tugas Studi Hadist
·         Untuk menambah wawasan para pembaca tentang definisi hadits
·         Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan penilaian dari status sebuah hadis yang diriwayatkan  dari sahabat muadz ibn jabal, sehingga  diharapkan para pembaca bisa mengetahui kualitas dan kuantitas hadis ini secara lebih detail.












BAB II
ISI/PEMBAHASAN

2. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
·                      Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi

Hadits Mutawatir
Hadits Ahad
Hadits Shahih
Hadits Hasan
Hadits Dha'if

·                      Menurut Macam Periwayatannya
 Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
Hadits yang terputus sanadnya

  Hadits Mu'allaq
  Hadits Mursal
  Hadits Mudallas
  Hadits Munqathi
  Hadits Mu'dhol

·                      Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi

Hadits Maudhu'
Hadits Matruk
Hadits Mungkar
Hadits Mu'allal
Hadits Mudhthorib
Hadits Maqlub
Hadits Munqalib
Hadits Mudraj
Hadits Syadz

2.1  Macam-macam Hadits

1. HADITS SHAHIH

Pengertian                                    
Secara bahasa (etimologi), kata ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ (sehat) adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan majas. Secara istilah (terminologi), maknanya adalah : hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit).
kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيمorang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut :

1)  Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2)  Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3)  Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4)  Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

1.A.  Syarat-Syarat Hadis Shahih

Berdasarkan definisi hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
  1. Mencatat semua periwayat yang diteliti,
  2. Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
  3. Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang     terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.

b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf  (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
  1. keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil,  sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
  2. ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
  1. kesaksian para ulama
  2. berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.

1.B. Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

1.C. Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.

1.D. Tingkatan Hadis Shahih
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a)      Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)     Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e)      Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)       Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)      Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.


2.  HADIST HASAN
Pengertian
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
1.       definisi al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha
2.        definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
3.        definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
4. Ungkapan yang senada dengan Ibnu Hajar juga diutarakan oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.2.
Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu
Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat
kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
2.A. Syarat Hadits Hasan
Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya berbeda.
a. Sanadnya bersambung,
b. Perawinya adil, lebih rendah dari hadits shahih,
c. Dlobith,
d. Tidak ada illat,
e. Tidak ada syadz,
Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain).
Apabila hanya disebut “Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilanya sedikit di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya.
Hadits hasan lighairihi adalah hadits dloif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada menguatkan sanad yang dloif tersebut. Ada juga yang mendefinisikan hadits hasan lighairihi sebagai hadits yang dalam isnadnya tersebut orang yang tidak diketahui keadaaanya, tidak biasa dipastikan kelayakan atau ketidaklayakannya. Namun ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangakan matannya didukung oleh mutabi’ atau syahid.
2.B. Hukum hadits Hasan
Bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’ ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.
2.C. Contoh Hadits Hasan
Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata:
Telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”al-Hadits.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.

3.HADITS DHA’IF

Pengertian
Menurut pendekatan etimologi kata “dha’if” berarti yang lemah, sebagai lawan dari kata “qawy” yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, maka kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit). Oleh karena itu sebutan hadits dha’if menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yang sakit, atau yang tidak kuat.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib menegaskan hadits dha’if sering didefinisikan oleh ahli hadits sebagai hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits yang dapat diterima. Mayoritas ulama menyatakan hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
Ibnu Katsir mendefinisikan hadits dha’if adalah : مَالَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ، وَلاَ صِفَاتُ الْحَسَنِ.
Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat hadits shahih dan hadits hasan.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits dha’if adalah : كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ يَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ.
Setiap hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat makbul (sifat-sifat yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih dan hasan). Karena yang shahih maupun yang hasan keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul.
Dalam istilah ilmu hadits Fatchur Rahman menta’rifkan hadits dha’if adalah : مَا فَقِدَ شَرْطًا أَوْاَكْثَرَمِنْ شُرُوْطِ الْحَسَنِ.
“Ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya suatu hadits itu dianggap dha’if selama belum dapat dibuktikan keshahihan atau kehasanannya. Sebab yang diharuskan di sini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah hadits shahih dna hadits hasan, bukan hadits dha’if.

3.A. Kriteria dan pembagian Hadits Dha’if

Dari segi diterimanya atau tidak suatu hadits untuk dijadikan hujjah, maka hadits itu pada prinsipnya terbagi dua, yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang termasuk hadits maqbul adalah hadits shahih dan hadits hasan, sedang yang termasuk hadits mardud adalah hadits dha’if.
Para muhadditsin menegaskan bahwa tertolaknya suatu hadits dapat dilihat dari dua aspek, pertama dari segi sanad dan kedua dari segi matannya.

1).Dha’if karena sanadnya
Kalau hadits itu disebabkan sanadnya, maka :
Pertama : Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun hafalannya.
Kedua : Ketidak bersambung-sambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Hadits dha’if itu memang bermacam-macam, dan mempunyai perbedaan derajat antara satu dengan yang lainnya, karena banyak atau sedikitnya syarat-syarat atau hadits shahih atau hasan yang dapat dipenuhinya. Sehingga Al-Iraqy membagi hadits dha’if menjadi 42 macam dan sebagian ulama yang lain, membaginya menjadi 129 macam.
Kalau hadits dha’if itu cacat pada keadilan dan kedla’bithan rawinya, maka terbagi beberapa macam :
1. Hadits dha’if karena rawinya pendusta disebut hadits maudlu’ ;
2. Hadits dha’if karena rawinya tertuduh pendusta disebut hadits matruk ;
3. Hadits dha’if karena rawinya fasiq disebut hadits munkar ;
4. Hadits dha’if karena rawinya banyak purbasangka disebut hadits mu’allal ;
5. Hadits dha’if karena rawinya menyalahi riwayat orang kepercayaan disebut hadits mudraj ;
6. Hadits dha’if karena rawinya bodoh disebut hadits mubham ;
7. Hadits dha’if karena rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud ;
8. Hadits dha’if karena rawinya tidak kuat hafalannya disebut hadits syadz dan mukhtalith ;

Kemudian apabila hadit dha’if itu karena sanadnya tidak bersambung, maka terbagi kepada :
1. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu’allaq ;
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (shahabat) maka disebut hadits mursal ;
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih, dan berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak berturut-turut maka disebut hadits munqathi.

2) Dha’if dari sandaran matannya
Hadits dha’if yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan, ialah:



a. Hadits mauquf
Kata mauquf berasal dari kata waqafa, yaqifu, secara lughat artinya yang dihentikan atau yang diwaqafkan. Maka hadits mauquf dalam pengertian ini berarti hadits yang dihentikan. Sedangkan secara istilah pengertian hadits mauquf ialah :
“Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya”.
Pengertian lain menyebutkan :
“Hadits lain yang disandarkan kepada sahabat”. Dengan kata lain bahwa hadits mauquf adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir sahabat. Dikatakan mauquf, karena sandarannya kepada sahabat, artinya terhenti pada sahabat, bukan pada Rasulullah SAW.
Contoh hadits mauquf adalah:
 “Konon Ibnu Umar r.a berkata:”Bila kau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya pagi hari, dan bila berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari.Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk persediaan matimu.”(HR Bukhari)
Hadits ini dikatakan hadits mauquf sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri,tidak aada petunjuk kalau itu sabda dari Rasulullah saw.Yang ia ceritakan bahwa Rasulullah saw memegang bahunya sambil bersabda:
 “Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalan”.
 Pada prinsipnya hadits mauquf  tidak dapat dijadikan sebagai hujjah,kecuali ada qarinah yang menunjukkan(menjadikan) marfu’.

b. Hadits Maqthu’
Kata maqthu’ diambil dari kata qatha’, yaqtha’u, menurut bahasa berarti yang dipotong, maka hadits maqthu’ berarti hadits yang dipotong, yaitu dipotong sandarannya hanya pada tabi’in. Secara terminologis hadits maqthu’ diartikan sebagai berikut :
“Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya”. Hadits seperti ini disebut hadits maqthu’, karena tidak ditemukan adanya qarinah atau kaitan yang menunjukkan bahwa hadits ini disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Contoh hadits maqtu’adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’iy besar,uajrnya:
 “Orang mu’in itu bila telah mengenal Tuhannya ‘Azza wa Jalla, niscaya ia mencintainya, dan bila ia mencintainya, Allah menerimanya.”
Suatu hadits dikatakan maqtu’ ,dalam pemabahasan matan yakni matannya tidak dinisbahkan kepada Rasulullah saw atau shahabat.Hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah.
 3) Dha’if dari sudut matannya.
Hadits-hadits yang tergolong dha’if dari sudut matannya saja ialah hadits syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan haditsnya bertentangan dengan kandungan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat kepercayaannya.

           

4)Dha’if dari salah satu sudutnya (sanad atau matan) secara bergantian
Yang dimaksudkan dengan bergantian disini ialah kedha’fan tersebut kadang-kadang terjadi pada sanad, dan kadang-kadang pada matannya. Di antara hadits-hadits yang termasuk kategori ini ialah hadits maqlub, hadits mudraj, dan hadits mushahaf.

 3.B. Kehujjahan Hadits Dha’if
Segenap ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa tidak boleh sekali-kali kita menggunakan atau mengamalkan hadits dha’if untuk menetapkan suatu hukum, segenap bentuk hukum, hukum halal, hukum haram, hukum berjual beli, hukum pernikahan, hukum thalak dan lain-lain. Namun mereka berbeda pendapat tentang mengamalkan hadits dha’if untuk keutamaan amal (fadhilatul amal), untuk targhib (menggemarkan) dan untuk tarhib (memberikan khabar ancaman).
1. Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu Araby menyatakan, hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.
2. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’il amal), dengan syarat:
a. Para perawi yang meriwayatkan hadits itu tidak terlalu lemah;
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan hadits shahih;
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa sebagian ulama membolehkan mengamalkan hadits dha’if untuk fadhilatul ‘amal. Hal ini sejalan dengan ungkapan tiga orang ulama hadits yang terkenal, yaitu Imam Ahmad bin Hambal, Abdurrahman bin Mahdi dan Abdullah bin Al-Mubarak. Diriwayatkan dari mereka : “Apabila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami memperketat, dan kalau kami meriwayatkan tentang keutamaan-keutamaan dan semisalnya, kami mempermudah”.
Kehati-hatian terhadap hadits dha’if juga dilakukan oleh Ibnu Hajar, beliau memberikan tiga macam persyaratan diterimanya periwayatan yang lemah dalam hadits raqaiq dan targhib, yaitu :
Pertama, syarat yang disepakati oleh para ahli, kelemahan tersebut tidak berlebihan. Oleh karena itu harus ditolak periwayatan tunggal dari orang-orang yang memang di kenal sebagai pembohong, atau yang dicurigai sebagai pembohong ataupun yang dikenal hafalannya sangat lemah.
Kedua, makna dari hadits tersebut masih dapat digolongkan dalam suatu tema dasar umum yang diakui. Maka harus ditolak setiap hadits yang hanya dibuat begitu saja, dan tidak ada argumentasinya sama sekali.
Ketiga, pada saat penerapannya, haruslah tidak diyakini bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW, agar tidak terjadi penisbahan suatu ucapan kepada beliau, padahal nabi tidak pernah mengucapkannya.
Selain syarat di atas, Yusuf Qardhawi menambahkan dua syarat lagi, yaitu : Pertama, hadits itu tidak mengandung hal-hal yang amat dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan, sehingga ditolak oleh akal, syariat, atau bahasa. Kedua, hadits tersebut tidak bertentangan dengan suatu dalil syar’I lainnya yang lebih kuat daripadanya.
Senada dengan uraian di atas, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany menegaskan bahwa ulama-ulama yang menggunakan hadits dha’if itu harus memperhatikan tiga syarat sebagai berikut :
Pertama : kelemahan hadits itu tidak seberapa, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta tidak dipakai;
Kedua : petunjuk hadits itu ditunjuki oleh sesuatu dasar yang dipegangi, dalam arti memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
Ketiga, jangan di i’tikadkan tatkala memeganginya bahwa hadits itu benar dari Nabi, tetapi hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan kepada nash yang tidak ditemui”.
Sekalipun para ulama membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if, tetapi persyaratan yang sangat kuat itu menunjukkan bahwa pada dasarnya para ulama menolak hadits dha’if dijadikan hujjah. Hal ini dapat dimengerti karena agama Islam berkaitan dengan keyakinan, sedangkan keyakinan tidak bisa didasarkan pada dalil yang lemah dan meragukan.


4.HADITS MASYHUR

Pengertian
Menurut bahasa, merupakan isim maf’ul dari syahartu al-amra, yang berarti saya mengumumkan atau menampakkan suatu perkara. Disebut seperti itu karena penampakkannya yang jelas.
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih ─disetiap tingkatannya─, asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir.
Contoh: “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja, melainkan Dia mencabutnya…” (Dikeluarkan haditsnya oleh Syaikhan, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

4.A. Masyhur yang Tidak Tergolong Istilah Hadits Masyhur
Yang dimaksudkannya adalah sesuatu (hadits) yang telah popular (masyhur) di kalangan tertentu, namun tidak memiliki syarat-syarat yang dituntut (sebagai hadits masyhur). Hal itu berupa:
  1. Haditsnya memiliki hanya satu sanad.
  2. Haditsnya memiliki lebih dari satu sanad.
  3. Haditsnya tidak memiliki sanad.


4.B. Hukum Hadits Masyhur
Masyhur menurut istilah maupun yang tidak termasuk istilah tidak dapat diklaim sebagai hadits yang shahih atau tidak shahih melainkan ada yang shahih, ada juga yang hasan, dhoif bahkan yang maudhu. Hadits masyhur─menurut istilah hadits─ yang shahih memiliki kriteria lebih kuat dari hadits ‘aziz dan hadits gharib.


4.C. Kitab-Kitab yang Populer
Yang dimaksud kitab-kitab hadits masyhur disini adalah hadits-hadits masyhur yang beredar ditengah-tengah masyarakat, bukan masyhur menurut istilah hadits, di antaranya:
       Al-Maqashid Al-Hasanah fima Isytahara ‘ala Al-Alsinati. Karya As-Sakhawi.
       Kasyfu Al-Khafa wa Muzail Al-Ilbas fima Isytahara min Al-Hadits ‘ala Al-Sinati An-Nas. Karya
       Al-Ajiluni.
       Tamyizu At-Thayib min Al-Khabits fima Yaduru ‘ala Al-Sinati An-Nas min Al-Hadits. Karya Ibnu Ad-Daiba’ As-Syaibani.

5.  HADITS MURSAL
Pengertian
Al-Mursal menurut bahasa berarti melepaskan. Adapun menurut istilah ahli hadits dan fuqoha berbeda dalam mendefinisikan hadits mursal.
Hadits mursal menurut ahli hadits adalah:
مارفعه التابعي إلى الرسول صلىالله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير صغيرا كان التابعي او كبيرا
Artinya: Hadits yang dimarfu'kan oleh seorang tabi'in kepada Rasulullah Saw, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir, baik tabi'in itu kecil maupun tabi'in besar.
Definisi ini banyak digunakan mayoritas ahli hadits, hanya saja mereka tidak memberikan batasan tabi'in besar atau kecil.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa hadits mursal adalah segala hadits yang bersambung sanadnya kepada tabi’in dan tidak menyebutkan nama shahabi yang meriwayatkan hadits langsung menyebut nama nabi Muhamad Saw.
Adapun hadits mursal menurut ahli ushul adalah perkataan seseorang yang tidak berjumpa dengan nabi Muhammad Saw  baik dari tabi’i atau tabi’u  tabi’in atau orang sesudah mereka. Jadi Hadits mursal adalah perkatan tabi’in baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil  atau perkataan sahabat kecil, yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan atau diperintahkan  oleh Rasulullah Saw  tanpa menerangkan dari sahabat mana berita itu diperolehnya.
Ahli ushul berpendapat, hadits mursal adalah hadits yang gugur perawinya  atau terputus sanadnya ditingkat manapun, baik diakhir, ditengah, ataupun di awal sanad. Baik berurutan  maupun tidak. Dengan demikian yang termasuk kategori  hadits mursal adalah hadits mu’allaq, mu’dhol, munqhathi’, karena hadits-hadits tersebut tidak bersambung sanadnya


5.A. Klasifikasi Hadits Mursal
Dalam hadits mursal, yang digugurkan adalah sahabat yang menerima berita langsung dari nabi, sedangkan yang mengugurkan dapat juga seorang tabi’i atau sahabat kecil. Oleh karna itu ditinjau  dari siapa yang mengugurkan dan sifat pengugurannya, hadits mursal terbagi kepada tiga macam yaitu :
1.      Mursal Jaly, Yaitu bila  penguguran yang telah dilakukan oleh rawi tabi’i adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh  umum, bahwa orang yang mengugurkan  itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan  yang mempunyai berita atau penguguran  itu dilakkukan oleh tabi’i besar
2.      Mursal Shahaby,  yaitu pemberitaan  sahabat yang disandarakan kepada Nabi Muhamad Saw, tetapi ia tidak mendengarkan atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama islam.
hadits mursal ini dianggap shahih, karena ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat. Sedang para sahabat itu seluruhnya adil. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Malik
أخبرنامالك بن شهاب عن عبيدالله بن عبدالله بن عطبة عن عبدالله بن عباس رضي الله عنه قال : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  خرج إلى مكة يوم عام الفتح في رماضان  فصام حتى بغ الكديد ثم افطر فافطر الناس
Yang artinya dikabarkan dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidillah  bin abdillah bin ‘tabah dari Abdullah bin ‘abbas r.a ibnu abbas berkata “ Bahwa Rasulullah Saw keluar menuju ke mekkah, pada tahun kemenangan dalam bulan ramadhan, karena itu beliau berpuasa sampai ke kadid lalu setelah itu beliau berbuka, kemudian orang-orang pun berbuka’.
Menurut al-qabisy, hadits tersebut termasuk hadits mursal shahaby, lantaran Ibnu Abbas tidak ikut berpergian bersama Rasulullah Saw beliau di Mekkah  ketika itu bersama dengan orang tuanya, jadi Beliau tidak menyaksikan kisah perjalanan tersebut. Hal itu diketahui berdasarkan berita dari sahabat lain.
3.        Mursal Khafi, yaitu hadits yang diriwayatkan  oleh tabi’i, dimana tabi’i yang meriwayatkan hidup sezaman  dengan shahaby, tetapi ia tidak perah mendengar sebuah hadits pun daripadanya. Hukum hadits mursal ini adalah dhaif.

5.B. Pandangan Ulama tentang kehujahan Hadits Mursal
Seluruh ulama sependapat , bahwa hadits mursal yang di-irsal-kan oleh sahabat dapat diterima sebagai hujjah dalam beramal, dengan alasan bahwa apa yang diriwayatkan oleh sahabat secara irsal diduga keras berdasarkan pendengarannya langsung dari nabi Muhamad Saw, atau berdasarkan pendengarannya langsung dari sahabat lain yang tidak diketahuinya,  identitas seorang sahabat itu adalah orang-orang yang berpredikat adil
Kebanyakan ulama hadits menilai bahwa hadits mursal ini lemah (dhaif) dan karenanya tak bisa dijadikan hujjah, karena tidak diketahui rawi yang gugur dalam urutan sanad atau tidak diketahui keadaan orang yang tidak disebut  namanya itu. Tetapi pendapat ini kurang mashur di kalangan fuqoha, pendapat mashur mereka adalah menerima hadits mursal sebagai hujah
Adapun Hadits mursal apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, Muhammad Ajaj Al-khatib  menyebutkan bahwa perbedaan pendapat tersebut sampai  10 pendapat, tetapi yang tergolong mashur hanya 3 yakni menolak, menerima dengan beberapa syarat, dan menerima hadits mursal.
1.    Pendapat pertama, yakni pendapat jumhur dan kebanyakan fuqoha dan ahli ushul menyatakan bahwa hadiits mursal itu dhaif dan tidak dapat dipakai hujjah, argumentasi mereka adalah bahwa rawi yang tidak disebutkan  itu tidak dapat diketahui identitas dan karakternya dan boleh jadi ia bukan seorang sahabat. Bila demikian maka para perawinya meriwayatkan hadits dari orang-orang tsiqat, oleh karena itu bila salah seorang perawinya meriwayatkan  hadits dengan meng-irsal-kannya, maka barangkali ia menerima hadits tersebut dari orang yang tidak tsiqat. Apabila rawi yang meng-irsal-kan itu tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang yang tsiqat, maka menilai ketsiqatan orang yang tidak jelas identitasnya dianggap tidak cukup.
2.    Pendapat kedua, yakni pendapat Iman Al-Muthalibi Al-syafi’i menjelaskan  bahwa hadits mursal kibaaar al-tabi’in   dapat diterima dengan beberapa syarat, baik pada matan hadits maupun pada rawi yang meng-irsal-kannya .
hadits mursal itu harus didukung oleh salah satu dari empat  faktor berikut :
a.    Diriwayatkan secar musnad dari jalan lain.
b.    Diriwayatkan secara mursal oleh rawi yang tidak menerima hadits tersebut dari guru-guru pada sanad pertama, karena hal ini menunjukan  berbilangnnnya jalur  hadits.
c.    Sesuai dengan pandapat sebagian sahabat
d.   Sesuai dengan pendapat kebanyak  ahli ilmu.
3. Pendapat ketiga, yakni  pendapat Imam Abu Hanifah dan imam Malik dan imam Ahmad dan ulama lainnya
adapun alasan Imam Abu Hanifaaah menerima hadis mursal sebagai hujjah, kalau yang mengirsalaknnya itu tabi’i  dengan beberapa alasan sebagai berikut :
1.   menurut logika bahwa rawi yang bersifat adil lagi perwira tentu tidak mau mengugurkan rawi-rawi (guru) yang berada antara dia dan nabi, sekiranya rawi yng digugurkan itu bukan orag yang adil pula, dengan kata lain sebagai orang yang adil tentu enggan membuat penipuan dengan menyembunyikan atau menggugurkan orang yang tidak adil
2.    rawi yang tsiqat  tidak akan mau meriwayatkan hadits dari orang yang tidak tsiqat, atau yang lebih mungkin adalah para tabi'in umumnya menerima hadits dari para sahabat dan mereka adalah orang-orang yang adil
3.   umat islam pada periode itu umumnya jujur dan adil dan sebagaimana yang ditegaskan rasulullah Saw yang memuji generasi tabi'in melalui sabdanya
خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (متفق عليه)
yang artinya : Sebagus-bagusnya kamu sekalian adalah generasiku, kemudian generasi seudahnya (sahabat), dan kemudian generasi yang mengikutinya (tabi'i) ( Bukhori Muslim)
4.     Ijma Tabi'in, bahwa para  tabi'i sepakat yang menerima  hadits-hadits yang diriwayatkan secara irsal tanpa adanya pengingkaran, hal ini dapat dilihat dari  dari apa yang diriwayatkan Al-A'mas ketika beliau berdialog dengan ibrahim al-nakho'i " apabila anda memberitakan hadits kepada saya, maka saya akan menyambungkan hadits itu, kemudian  ia berkata: " apabila saya berkata kepada anda, telah memberitakan hadits kepadaku, dan apabila saya, si pulan, dan Abdullah bin masud maka dialah yang memberikan  hadits kepada saya, dan apabila saya berkata kepada anda  "Abdullah bin Mas'ud telah memberitakan hadits itu kepada saya, maka seolah sekelompok orang yang telah memberitakan hadits kepada saya

6. HADITS QUDSI
Pengertian
Hadits Qudsi secara etimologi berarti Hadits yang di nisbatkan kepada Dzat yang Maha Suci yaitu Allah Subhanahu wa Ta`ala. Secara istilah, Hadits Qudsi dipahami sebagai Hadits yang yang di sabdakan Rasulullah, berdasarkan firman Allah SWT. Dengan kata lain, matan Hadits tersebut adalah mengandung firman Allah SWT.
1. Al Qur`anul Karim mempunyai lafadz dan makna dari Allah SWT dan diturunkan secara berkala.
2. Sedangkan Hadits Nabi memiliki lafadz yang bersumber dari Nabi SAW tetapi maknanya dari Allah SWT, dan diturunkan tidak secara berkala serta dinitsbatkan kepada Rasulullah SAW.
3. Serta Hadits Qudsi, lafadz Hadits berasal dari Nabi Muhammad tetapi maknanya dari Allah SWT, tidak berkala, dinitsbatkan kepada Allah SWT.
Perbedaan dalam bentuk penyampaianya adalah:
1. Al Qur`an selalu memakai kata "قال الله تعالى"
2. Hadits Nabawi memakai kalimat" قال رسول الله \ قال النبي"
3. Hadits Qudsi dengan "قال رسول الله فيما يرويه عن ربه"
Hadits Qudsi juga bisa disebut sebagai Hadits Ilahi, atau Hadits Rabbani. Jumlah total Hadits Qudsi menurut kitab Al Ittihafatus Sunniyah berjumlah 833 buah, termasuk yang shahih, hasan dan dhaif.
Contoh Hadits Qudsi yang sahih: عن رسول الله ص. قال الله عز وجل: انفق انفق عليك. (صحيح رواه البخرى مسلم).
Artinya: Dari Rasulullah SAW: telah berfirman Allah Azza wa Jalla. “berderma lah kalian, niscaya aku akan membalas derma atasmu” (Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Hadits Qudsi ialah Hadits yang lafadz matan-nya dari Nabi Muhammad SAW dan maknanya dari Allah SWT. Hadits Qudsi tidsak sama dengan Al Qur`an karena Al Qur`an lafadz dan matan-nya dari Allah SWT.

7. HADITS MU’AN-AN
Pengertian
Pengertian dari muanan adalah hadits yang sanadnya terdapat redaksi ‘an (dari) seseorang.
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
1) Bahwa hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
a) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
·         Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
·         Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
·         Perawi bukan termasuk mudallis.
b) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
·         Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
·         Perawi bukan termasuk mudallis.
·         Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu.
2) Bahwa hadits mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’an-an tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .
Pengertiaanya adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam mengomentari hadits seperti ini dapat di kalsifikasikan menjadi dua:
1) Bahwa hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila mempunyai syarat-syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan jumhurul hadits.
2)  Hadits muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat kejelasan bahwa murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al- Bardaji. Contoh dari hadits ini adalah hadits yangdiriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Shihab
Kesimpulan dari uraian diatas dapat kita klasifikasikan menjadi tiga pendapat sesuai dengan komentar Ibnu Hajar:
·         Bahwa redaksi sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana.
·         Tidak dikatakan sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana. Ketika hadits itu diriwayatkan oleh mudallis.
·         Redaksi ‘an sama dengan akhbarana dalam penerimaan hadits secara ijazah.Untuk itulah hadits yang redaksinya memakai ‘an masih dalam kategori muttasil. Akan tetapi derajat ‘an masih dibawah sami’tu.
Contoh hadis mu’an’an:
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر {رواه مسلم}.






8. HADITS MUTAWATIR
Pengertian
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:

Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.

Artinya:
Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.


8.A. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1). Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2). Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
    Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
    Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
        Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
        Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah: “Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

8.B. Pembagian Hadits Mutawatir

Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

1. Hadits Mutawatir Lafzi

Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.

Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.

Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.


2. Hadits mutawatir maknawi

Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.

Artinya:Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

Contoh :
Artinya :Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih- putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.

Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.

Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.


9.HADITS GHARIB
Pengertian
1.    Menurut bahasa, merupakan sifat musyabbahah yang bermakna al-mufarid (sendiri), atau jauh dari karib kerabat.
2.    Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian.
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Bisa disetiap thabaqat-nya dari seluruh thabaqat sanadnya, atau di sebagian thabaqat sanad; malahan bisa pada satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainnya tidak merusak hadits gharib karena yang dijadikan sebagai patokan adalah yang paling minimal.

9.A. Jenis-Jenisnya
Dilihat dari aspek tempat menyendirinya perawi, hadits gharib dibagi dua:

a.  Hadits gharib mutlak atau fard mutlak
Definisinya, jika gharib (kesendiriannya) terdapat pada asal sanad, dengan kata lain hadits yang diriwayatkan oleh rawi secara sendirian pada asal sanadnya. Contohnya hadits, “Sesunggunhya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Umar bin Khathab seorang diri. Hal ini terus berlanjut (kesendiriannya) hingga akhir sanad. Hadits ini juga telah diriwayatkan kesendiriannya oleh sejumlah rawi.

b. Hadits gharib nisbi atau fard nisbi
Definisinya, ke-gharib-annya terletak ditengah-tengah sanad, dengan kata lain, hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi pada asal sanadnya, kemudian diriwayatkan oleh seorang rawi. Contohnya hadits Malik dari Az-Zuhri dari Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kota Makkah sementara di atas kepalanya terdapat penutup.
Kesendiriannya terletak pada Malik dari Az-Zuhri.
1)        Jenis-Jenis Hadits Gharib Nisbi
Terdapat berbagai jenis gharib atau kesendirian (tafarrud) yang memungkinkannya termasuk hadits gharib nisbi, bukan gharib mutlak karena dinisbahkan kepada sesuatu tertentu, antara lain:
1.        Ke-gharib-annya dinisbahkan kepada rawi yang tsiqah (terpercaya) seperti pernyataan mereka, “Tidak diriwayatkan oleh seorang pun rawi tsiqah kecuali si fulan.”
2.        Ke-gharib-annya karena diriwayatkan oleh rawi tertentu dari rawi tertentu. Seperti pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara menyendiri oleh fulan dari fulan,” meskipun diriwayatkan dari arah lain selain dia.
3.        Ke-gharib-annya pada penduduk negeri tertentu atau penghuni tertentu. Seperti pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk Makkah,” atau “oleh penduduk Syam.”
4.        Ke-gharib-annya karena diriwayatkan oleh penduduk negeri tertentu dari penduduk begeri tertentu pula. Seperti pernyataan mereka, “Diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk Bashrah dari penduduk Madinah,” atau “Diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk Syam dari penduduk Hijaz.”
Pembagian Lain
Para ulama juga membagi hadits gharib dilihat dari sisi gharibnya sanad dan matan, yaitu:
1.        Hadits gharib matan dan sanad. Hadits yang matannya diriwayatkan oleh seorang rawi saja.
2.        Hadits gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, namun diriwayatkan secara menyendiri dari sahabat lainnya. Dalam perkara ini, Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib dilihat dari aspek ini.”

9.B. Kitab-Kitab yang Memuat banyak Hadits Gharib

Yaitu kitab-kitab yang di dalamnya terdapat banyak hadits gharib
1. Musnad Al-Bazzar
2.Mu’jam Al-Ausath At-Thabrani

9.C. Kitab-Kitab Hadits Gharib yang Populer
1.Gharaib Malik, karya Ad-Daruquthni
2.Al-Afraad, karya Ad-Daruqthni
3.As-Sunan allati Tafarrada bikulli Sunnatin minha Ahlu Baldatun, karya Abu Daud As-Sijistani

10. HADITS AZIZ
Pengertian
‘Aziz artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat.
‘Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya.
Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : “Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma.
Susunan sanad dari dua jalan tersebut adalah :  Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan Abdul-Warits.







11.HADITS MUTTASHIL
Pengertian
Hadis muttasihl disebut juga Hadis Mausul.(sanad nya tidak terputus)

Artinya:
Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.

Kata-kata “hadis yang didengar olehnya” mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata “yang didengar” karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh.

Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu ‘an ‘an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata ‘an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
Artinya
Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya.

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, “Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya.

Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya “. Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas.
Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu’ adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi’in.


12.HADITS MUA’LAQ
Pengertian
Hadits Mu’allaq adalah hadits yang sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hadits :
“ Hadits yang dari pangkal sanadnya dihilangkan satu rawi atau lebih secara berurutan ”

12.A. Gambaran Hadits Mu’allaq
Yang termasuk gambaran dan bentuk dari hadits muallaq diantaranya :
1.Dihilangkannya semua sanad kemudian.
2.Di antaranya juga dihilangkannya seluruh sanadnya kecuali satu orang shahabat, atau tersisa seorang shahabat dan satu orang tabi’in saja.
Contoh : Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah pada pembukaan bab : “Hadits-Hadits Yang Disebutkan Tentang Paha ” :
وقال أبو موسى غطى النبي صلى الله عليه و سلم ركبتيه حين دخل عثمان
“Abu Musa radiyallahu 'anhu berkata : “Nabi Sallallahu 'Alahi Wasallam menutup dua lutut beliau ketika Utsman masuk”
Hadits ini adalah hadits Mu’allaq, karena Imam Bukhari menghilangkan seluruh sanadnya kecuali satu orang shahabat yaitu Abu Musa al-Asy’ari.

12.B. Hukum Hadits Mu’allaq
Hadits Mu’allaq adalah tertolak karena tidak adanya salah satu syarat hadits maqbul (yang diterima) yaitu tersambungnya sanad. Itu karena dalam Mu’allaq ada satu rawi atau lebih yang dihilangkan, padahal kita tidak tahu keadaan rawi yang dihilangkan.



12.C. Hukum Hadit-Hadits Mu’allaq Dalam Kitab Shahihain
Hukum yang tadi dimana hadits Mu’allaq adalah tertolak, itu adalah untuk hadits Mu’allaq secara umum. Namun apabila hadits Mu’allaq terdapat dalam kitab yang menyebutkan hadits shahih saja seperti Shahih Bukhari dan Muslim, maka dia punya hukum tersendiri, yaitu sebagai berikut :
·       Bila disebutkan dengan bentuk jazm (pasti) seperti “telah berkata” , “telah menyebutkan” , “telah menghikayatkan” dan yang semisalnya, maka dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.
·       Bila disebutkan dengan bentuk tamridh (tidak pasti) seperti “telah dikatakan”, “telah disebutkan”, “telah dihikayatkan” dan yang semisalnya, maka tidak dihukumi keshahihannya dari siapa yang disandarkan.

13.HADITS MUDRAJ ( sisipan)
Pengertian
Definisi Mudraj menurut bahasa yaitu (merupakan isim mafùl dari kata adrajtu) yang berarti aku memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah yaitu Hadits yang dirubah menurut sanadnya atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah.

Macam-macam hadits mudraj :

Mudraj pada Sanad
Banyak sekali kemungkinan terjadi, misalnya:
sekelompok jamaah meriwayatkan sautu hadits dengan beberapa sanad yang berbeda, kemudain diriwayatkan oleh seorang perawi dengan menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tesebut tanpa menerangkan ragam dan perbedaan sanad.
Seseorang meriwayatkan sebuah matan yang ditak sempurna, kesempurnaannya ia temukan pada sanad yang lain. Kemudian ia meriwayatkannya dengan menggunkan sanad yang pertama.
Seseorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua sanad yang beberda pula, kemudian ia meriwayatkannya dengan salah satu sanadnya saja
Seorang perawi menyampaikan periwaytan, pada saat menyampaikan terhalang oleh suatu gangguan, kemudian berbicara dari dirinya sendiri. Diantara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah matan hadits, kemudian dia meriwayatkannya.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari jalan Ibnu Mahdi dari ast-Tsauri dari Wasil al Ahdab dari Mansur al a’masy dari Abu Wa’il dari Amer bin Syurahbil dari Ibnu mas’ud r.a, katanya aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang dosa yang paling besar, kataku: “mana dosa yang paling besar?”. Nabi menjawab:”engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan engkau”, aku bertanya: “kemudian apa?”. Nabi menjawab “engkau membunuh anak engkau karena khawatir akan makan dia bersama engkau”. Aku bertanya pula: “kemudian apa?”. Nabi menjawab: :engkau menzinai istri tetangga engkau”.
Dalam sanad ini terdapat sanad yang disisipkan yaitu Amer bin Syurahbil, sebenarnya Abi Wail menerima langsung dari Ibnu Mas’ud r.a dengan tidak memakai perantara Amer ibn Syurahbil.




2. Mudraj pada Matan
Pada umumnya mudraj pada matan merupakan penjelasan ataupun keterangan Rawi terhadap lafadz-lafadz yang gharib (asing) dari matan hadis Nabi. Mudarj pada Matan adalah, sebagian perawi telah memasukkan perkataannya dalam hadis Rasulullah saw. Baik itu pada awal hadis, pertengahan ataupun terakhir. Sehingga menimbulkan dugaan para pendengar bahwa itu adalah bagian dari hadis Nabi.
a. mudraj pada awal hadis
Contohnya hadis tentang wudhu`:

ما رواه الخطيب من رواية أبي قطن وشبابة عن شعبة عن محمد بن زياد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “أسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من النار

“Diriwayatkan oleh Khatib Al Baghdadi, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhumu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu)".

Kata-kata 
أسبغوا الوضوء "Sempunakanlah wudhumu" pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut oleh penerima riwayat dikira bagian dari matan hadis Nabi.

Periwayat hadis tersebut ialah Khatib Al Baghdadi yang menerimanya dari dua sanad, yakni dari sanad Abu Qathan dan sanad Syababah menurutnya kedua periwayat itu ragu-ragu apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabada Nabi ataukah kata-kata dari Abu Hurairah. Dalam hal ini al-Khatib telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.

Dan ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah dengan lafadz:

عن أدم عن شعبة عن سعيد بن زياد عن أبي هريرة قال: أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال: “ويل للأعقاب من النار

“Dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah berkata: sempurnakanlah wudhu`mu karena sesungguhnya Abu al-Qasim SWA telah bersabda: Neraka Wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak memebasuh dengan sempurna ketika berwudhu". (HR Bukhari)


b. mudraj pada pertengahan hadis

Contoh : Hadis Aisyah tentang permulaan turunnya wahyu:

حدثنا يحي بن بكير قال: حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت كان أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم. فكان لا يري رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصباح ثم حبب إليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه (وهو التعبد) الليالي أولات العدد قيل أن ينزع إليه…”

Dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata. Wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar dalam tidur, beliau tidak melihat mimpi kecuali beliau menyaksikan sesuatu seperti pagi hari. Kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya utnuk berkhalwat di Gua Hira, beliau berkhwalwat disana untuk bertahannus yakni beribadah… didalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…”

وهو التعبد "yakni beribadah" kata-kata ini adalah Idraj kata-kata Aisyah, merupakan penafsiran dari kata yatahannast yang oleh penerima riwayat yakni Al-Zuhry disertakan dalam matan hadis.


c. Mudraj pada akhir hadis
Contohnya: Hadis Abu Hurairah tentang hamba yang baik dalam beribadah;

عن أبي هريرة قال صلى الله عليه وسلم : للعبد المملوك أجران، والذي نفسي بيده لو لا الجهاد فى سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك

Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Hamba sahaya mendapat dua pahala demi Dzat dan jiwaku ada ditangannya, seandainya bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kepada Ibuku, niscaya aku ingin mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.

Awal kata dari hadis diatas adalah sabada Nabi, kemudian selebihnya sampai akhir hadis itu adalah Idraj. Karena mustahil nabi mengharapkan dirinya menjadi hamba sahaya sementara prediket hamba itu tidak relevan dengan perediket kenabian.

Maka menurut Nuruddin It`r kata-kata 
والذي نفسي بيده sampai akhir hadis itu adalah Idraj dari perkataan Abu Hurairah.

c) Hukum Hadis Mudraj

Mudraj termasuk salah satu hadis dhaif, karena memasukkan dengan sesuatu yang bukan hadis, seandainya kata-kata yang di Idraj itu shahih atau hasan karena boleh jadi datang melalui sanad yang shahih, hal itu juga tidak mengubah ke-dhaifannya karena sebagai sesuatu yang bercampur dalam sebuah hadis yang padanya terjadi Idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.

Adapun Idraj yang terjadi disebabkan kesalahan dan kelupaan periwayat yang tidak tercela, kecuali ia banyak melakukannya, maka yang demikian merupakan kecacatan kedhabitannya.

Sedangkan Idraj yang terjadi karena disengaja, maka Ijma` ulama ahli hadis dan fiqh menyatakan sebagai perbuatan haram. Adapun jika Idraj yang dimaksudkan karena sebagai penafsiran atau penjelasan dari kata-kata yang asing maka hal itu dibolehkan.


Tidak bisa dinilai sebagai idraj sampai ada bukti, sehingga hukum asalnya adalah dianggap bagian dari matan hadits. Hadits mudraj diketahui melalui beberapa jalan :

a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut dari para Imam.
c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.


MAZID (tambahan)

Kata Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis Ziyadah pada matan ialah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh rawi tertentu, sedangkan rawi yang lain tidak mengemukakannya.

Macam-macam Ziyadah

Menurut Ibn Shalah Ziyadah ada tiga macam, yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang Tsiqah yang isinya bertentangan/menyelisihi dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut ditolak.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut diterima (saling melengkapi).
Contoh :
Dari Al A'raj, dari AbuHurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda "Apabila anjing minum di bejalan salah seorang dari kamu maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abi Razin dan Abi Shalih dari Abu Hurairah,ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaknya ia buang isinya, kemudian hendaklah ia mencucinnya tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abdullah Bin Mughaffal ia berkata, "....dan Nabi bersabda, "Apabila anjingmenjilat bejana, maka hendaklah kamu cuci dia tujuh kali dan hendaklah kamu lumurkan bejana itu yang kedelapan dengan pasir" (HR Muslim)
Ketiga hadis diatas semua rawinya adalah tsiqoh dan sama kuat, karena tambahan dari masing-masing riwayat tidak bertentangan maka semuanya diterima (saling melengkapi), maka makna gabungan dari ketiga hadis tersebut menjadi : Apabila seekor anjing menjilat atau minum dari suatu bejana, hendaklah dibuang isinya, lalu dicuci dengan air tujuh kali dan yang ke delapan dengan dicampur tanah".

3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para periwayat lain yang tsiqah tidak mengemukakannya, Ibn Shalah tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan Ziyadah yang ketiga ini.
Jika tambahan itu datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.

Jika datang dari rowi yang tsiqoh : Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal :Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”

Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.

Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (
وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).




14.HADITS MUSALSAL
Pengertian
Hadits  Musalsal adalah hadits yang dibawakan dengan menyertakan sifat (yang selalu sama) seperti perkataan perawi “Ketahuilah, Demi Allah telah memberitahuku seorang pemuda” كَـذَاكَ قَـدْ حَدَّثَنِيهِ قَائِمــا * أَوْ بَعْـدَ أَنْ حَدَّثَنِـي تَبَسَّـما
Begitu juga seperti perkataan “Si Fulan Telah bercerita kepadaku sambil berdiri” atau “setelah bercerita kepadaku, ia tersenyum”
Musalsal: Hadits yang para perawi sanadnya bersamaan dari awal hingga akhirnya dalam mengucapkan, atau dalam mencontohkan keadaan atau dalam melakukan perbuatan.
Dalam mengucapkan, seperti masing-masing mereka bersumpah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam mencontohkan keadaan, seperti mernyampaikan hadits sambil berdiri.
Dalam melakukan perbuatan, seperti tersenyum setelah menyampaikan hadits.

14.A. Hukum hadits musalsal
adalah  diterima apabila memenuhi syarat-syarat untuk diterima. Ibnu Shalah dalam ‘Ulumul Hadits hal. 249 berkata, “Sedikit sekali hadits musalsal itu yang selamat dari kelemahan, maksud saya, dalam menyifati keadaannya, bukan pada matannya.”Aku (Syaikh Ali bin Hasan Al Halabiy)  berkata:”Ini adalah peringatan ringan”.

14.B. Contoh hadits musalsal
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu. Aku berpesan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah kamu tinggalkan mengucapkan di akhir setiap shalat, “Allahuumma a’inniy ‘alaa dzikrik wa syukrik wa husni ‘ibaadatik.” (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, untuk bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki ibadah kepada-Mu).

Aku berkata: Syaikh Abul Faidh Al Fadaniy berkata kepadaku : Sesungguhnya aku mencintaimu, lalu ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku beberapa orang syaikh, yaitu Umar bin Hamdan, Muhammad bin Abdul Baqi Al Laknawi,…dst, dan masing-masingnya berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku mencintaimu.” Begitupula setiap perawi berkata:”Telah berkata kepadaku si fulan, dan ia berkata kepadaku:”Sesungguhnya aku mencintaimu”… sampai kepada akhirnya.

15.HADITS MA’RUF

Pengertian
Ma’ruf adalah isim maf’ul dari kata ‘Arofa yang berarti yang sudah dikenal atau diketahui.
Adapun menurut ilmu hadits, hadits Ma’ruf adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh (terpercaya) yang menyelisihi apa yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if (lemah)”
Dengan definisi ini, kita mengetahui bahwa hadits Ma’ruf adalah lawan dari hadits Munkar. Karena Munkar adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if (lemah) yang menyelisihi dengan apa yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqoh (terpercaya)”
Dengan ini, kita juga mengetahui bahwa hadits Ma’ruf bukanlah termasuk kategori hadits dhaif, tapi dia termasuk hadits maqbul dan shahih. Dia disebutkan setelah pembahasan hadits Munkar karena dia adalah lawan darinya, supaya bisa dibedakan dan jelas putih di atas hitam.

15.A. Contoh Hadits Ma’ruf
Contoh hadits Ma’ruf adalah contoh dari hadits Munkar. Hanya saja kalau Munkar dari jalan rawi yang dhaif sedangkan Ma’ruf dari jalan rawi yang tsiqah. Seperti hadits :

مَن أَقامَ الصَّلاةَ وآتى الزَّكاةَ وحَجَّ البيتَ وصامَ وقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ الجنَّةَ
“Barangsiapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, berpuasa dan memuliakan tamu, maka niscaya dia masuk surga”
Hadits ini dilihat dari jalan Hubayyib bin Habib az-Zayyat dari Abu Ishaq adalah Munkar, karena Hubayyib meriwayatkannya secara marfu’. Adapun selain dia (Hubayyib) dari para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara mauquf (disandarkan kepada Shahabat). Riwayat para rawi yang tsiqat inilah yang disebut dengan Ma’ruf.
Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah setelah memaparkan hadits Hubayyib secara marfu’ tersebut, beliau berkata : “Hadits itu Munkar, karena selain dia (Hubayyib) dari para rawi yang tsiqat meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq secara mauquf (disandarkan kepada Shahabat).

16.HADITS MAQLUB
Pengertian
Hadits Maqlub adalah hadits yang terbalik lafadznya pada matan, nama seseorang atau nasabnya pada sanad. Dengan demikian perawi mendahulukan yang seharusnya diakhirkan, mengakhirkan yang sebenarnya didahulukan, dan meletakkan sesuatu ditempat sesuatu yang lain.
Pembalikan tersebut hanyalah karena lupa, tidak ada unsur kesengajaan, meskipun begitu, hal tersebut mengakibatkan kedla’ifan hadits. Seandainya hal itu dilakukan dengan sengaja bukan karena lupa, maka pada saat itu pembalikan merupakan salah satu bentuk pemalsuan.
Diantara ahli hadis banyak yang sengaja menguji para perawi dengan membalikkan hadits-hadits. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memalsukan hadits, tetapi untuk mengetahui sejauh mana hafalan mereka.
Letak kedla’ifan dalam hadits Maqlub ini terletak pada sedikitnya kekuatan ingatan, karena mendahulukan apa yang semestinya diakhirkan dan mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan serta mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain, lebih dari itu hadits maqlub merusak pemahaman pendengar dan membawanya pada kekeliruan.
Contoh tukar-menukar yang terjadi pada matan, ialah hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a:

ورجل تصدق بصدقة أخفاها حتى لاتعلم يمينه ما تنفق شماله
"
 …dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang disembunyikan, hingga tangan kanannya tidak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya.”

Hadits ini terjadi pemutarbalikan dengan hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim sendiri,pada tempat lain, yang berbunyi:


حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

( hingga tangan kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan kanannya).

Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Ka’ab bin Murrah tertukar dengan Murrah bin Ka’ab, dan Muslim bin Wahid, tertukar dengan Wahid bin Muslim.
Hukum memutarbalikkan rawi ini boleh, jika dengan maksud untuk menguji kehafadhan seorang muhaddits.

17. HADITS MAUDHU
Pengertian
Menurut bahasa, kata maudhu’ merupakan isim maf’ul dari kata wada’a (وضع) , artinya menurunkan atau meletakkan atau meyimpan. Dan secara istilah : ulama hadist, yaitu hadist yang dibuat oleh seseorang pendusta dan disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik secara sengaja maupun tidak. Hadist semacam ini dinamakan dikenal juga dengan sebutan hadits palsu.
Di samping itu juga, Hadits maudhu’ atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Di dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits, dilihat dari dua hal, yaitu dari matan atau lafadz (isi) haditsnya dan sanad atau jalur orang yang meriwayatkannya. Hadits maudhu’ dikategorikan hadits mardud (tertolak), karena hadits tersebut cacat dari segi jalur periwayatannya. Sebab salah seorang perawinya (periwayat) diketahui berdusta, ia mengklaim ucapan seseorang sebagai hadits lalu menyebar luaskannya.

17.A. CONTOH HADITS MAUDHU
1. Hadits maudhu’ yang bertentangan dengan sunnah mutawatir ialah Hadits yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad, yaitu:
“Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad, Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimasukkan di neraka”.
Hadits tersebut adalah bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan bahwa neraka itiu tidak dapat ditembus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keilmuan dan keislaman
2. Hadits maudhu’ yang dinukil dari perkataan orang-orang Mutaqaaddimin, yaitu: “Cinta keduniaan ialah modal kesalahan”.
3. Hadits maudhu’ yang dibuat untuk mempertahankan idiologi partainya atau golongan sendiri dan menyerang partai lawannya, yaitu golongannya syi’ah membuat hadits maudhu’ yang memuji diri sendiri, mereka membuat hadits yang isinya untuk menjelek-jelekkan lawannya, seperti Mu’awiyah: “ Apabila kamu melihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku bunuhlah”.
Pengikut golongan lain yang merasa golongannya dihina, segera membalas membuat hadits maudhu’ untuk mengadakan revance atau setidak-tidaknya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat padanya. Misalnya hadits maudhu yang membenarkan ke-khilaf-an Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a.
4. Hadits maudhu’ yang dibuat untuk merusak dan mengeruhkan Agama Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Zindiq. “Tuhan kami turun dari langit pada sore hari, di Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang bekendaraan dan memeluk orang-oreng yang pada berjalan”.
5. Hadits maudhu yang bertentangan dengan Al Quran: “ Anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan”.

17.B. HUKUM HADITS MAUDHU’
Hadits maudhu’ atau palsu merupakan hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil dan juga hadist ini merupakan hadist yang paling jelek di antara sekian banyak yang hadist yang dhaif. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram, jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Berdasarkan hadits, “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim).

18.HADITS MUHKAM
Pengertian
Muhkam  secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.

18.A. Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutsyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2). Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih} al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3). Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam  ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih  ialah lawannya muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari uraian-uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu
Hadits merupakan sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an. Didalam hadits itu sendiri terdapat klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu adalah hadits mutawatir dan hadits ahad. Dari segi kualitas hadits ada hadits shahih, hadits hasan , hadits dha’if, dan hadits maudhu. Dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud. Dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan hadits munqathi.
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan. Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan. Status kehujjahan sebuah hadits dha’if dipandang hujjah apabila dapat diamalkan secara mutlak, dipandang baik mengamalkanya dan hadits dha’if yang sama sekali tidak dapat di amalkan.
Dan juga biografi para ulama-ulama perawi hadits yang semuanya memiliki keilmuan yang tidak di ragukan lagi. Juga tentang pembukuan hadits yakni pada masa kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz karena di takutkan hadits-hadits itu akan lenyap bersama para penghapal hadits bila tidak segera dibukukan.










No comments: